YOUTH FOR THE FUTURE

SELAMAT DATANG DI BLOG PMR UNIT SMPN 18 KOTA BOGOR

Jumat, 30 April 2010

Pengertian Perang atau sengketa bersenjata internasional

A. Mansyur Efendi mendefinisikan perang atau sengketa bersenjata sebagai suatu keadaan legal yang memungkinkan dua atau lebih gerombolan manusia yang sederajat menurut hukum internasional untuk menjalankan persengketaan bersenjata. Oppenheim berpendapat “war is contention betwen two or more states through their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such condition of peace as the victor pleases.” Terjemahan bebasnya sebagai berikut: perang merupakan pertikaian antara dua negara atau lebih melalui angkatan bersenjatanya, yang bertujuan saling mengalahkan dan menciptakan keadaan damai sesuai keinginan pemenangnya. Terdapat beberapa unsur yang sama dalam setiap perselisihan atau persengketaan yang akhirnya terwujud dalam bentuk yang paling ekstrim yaitu perang fisik, di mana masing-masing pihak berusaha untuk memaksakan kehendaknya.


Sengketa Bersenjata Internasional (International Armed Conflict)

Pengertian sengketa bersenjata internasional dapat ditemukan antara lain pada Commentary Konvensi Jenewa 1949, sebagai berikut:
Any difference arising between two States and leading to the intervention of members of the armed forces is an armed conflict within the meaning of Article 2, even if one of the Parties denies the existence of state of war, It makes no difference how long the conflict lasts, or how much slaughter takes place.

Perang atau pertikaian bersenjata internasional adalah perang yang terjadi antara dua atau lebih pihak Peserta Agung atau pihak Peserta Agung dengan yang bukan Peserta Agung asalkan yang terakhir ini juga berbentuk negara. Dengan kata lain, sengketa bersenjata internasional adalah persengketaan antara negara yang satu dengan beberapa negara lain, walaupun pada akhirnya yang berhadapan adalah manusia dengan manusia, dalam persengketaan ini negara menjadi subjek.
Protokol Tambahan I Tahun 1977 juga mengatur sengketa bersenjata internasional. Pada Pasal 1 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977 disebut bahwa Protokol ini berlaku dalam situasi dimaksud dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949.
Ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 menyebutkan:
In addition to the provisions which shall be implemented in peace time, the present Convention shall apply all cases qf declared war or of any other armed conflict which may arise between two or more of the high contracting parties, even if the State of war is not recognized by one of them.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Konvensi ini berlaku dalam perang antara dua atau lebih pihak Peserta Agung yang diumumkan, sekalipun pertikaian senjata tarsebut tidak diakui sebagai keadaan perang, dan pendudukan sekalipun pendudukan itu tidak menemui perlawanan.
Protokol Tambahan I Tahun 1977 juga berlaku dalam situasi-situasi lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (4), yang menyebutkan bahwa Protokol Tambahan I Tahun 1977 juga berlaku dalam keadaan konflik bersenjata antar suatu bangsa melawan colonial domination alien occupation, dan racist regimes, dalam upaya untuk melakukan hak menentukan nasib sendiri, sebagaimana dijamin dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antar negara.
Dimasukkannya situasi colonial domination alien occupation, dan racist regimes, yang kemudian dikenal dengan istilah CAR Conflict ke dalam kategori situasi sengketa bersenjata internasional merupakan perkembangan baru terhadap Konvensi Jenewa 1949. CAR Conflict yang dimaksud dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977 adalah konflik-konflik yang berkaitan dengan upaya untuk menentukan nasib sendiri yang dilakukan oleh suatu bangsa. Ada beberapa kriteria agar suatu kelompok masyarakat bisa disebut sebagai bangsa, yaitu apabila berdiri dalam suatu wilayah yang memiliki bahasa yang sama, kesamaan etnik dan budaya.
Penentuan nasib sendiri hanya bisa dilakukan oleh suatu bangsa. Hal ini berarti bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk digunakan oleh kelompok minoritas etnis, agama, atau bahasa yang berada di suatu negara, misalnya dalam Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik, di mana mereka mempunyai hak untuk menjalankan ajaran agamanya dan menggunakan bahasanya sendiri. Kelompok semacam ini berhak atas perlindungan akan tetapi bukan untuk menentukan nasib sendiri.
Bangsa yang melakukan upaya untuk menentukan nasib sendiri dengan jalan kekerasan bersenjata biasanya disebut Gerakan Pembebasan Nasional (National Liberation Movement) dan perjuangan itu disebut dengan War of National Liberation. Salah satu pertimbangan mengapa CAR Conflict diatur dengan dirumuskan ke dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977 adalah untuk memberikan perhatian kepada War of National Liberation dan National Liberation Movement, ini terbukti dengan adanya Resolusi Majelis Umum No. 3102 (XXVII) tahun 1973 yang antara lain berbunyi:
Urged that the national liberation movement recognized by the various regional international organization concerned be invited to participate in the Diplomatic conference as observers in accordance with the practise of the United Nations.
Artinya: Didorong oleh sebab gerakan pembebasan nasional diakui oleh berbagai wilayah organisasi internasional maka diundang untuk turut serta dalam konferensi diplomatik sebagai pengamat sesuai dengan Praktik Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Salah satu keputusan yang diambil oleh Diplomatic Conference adalah hal yang berkaitan dengan undangan kepada National Liberation Movement, yang menyebutkan:
Decides to invite the national liberation movement wich are recognized by the regional intergovernmental organizations concerned, to participate fully in the deliberations of the conference and its main committees.
Maksudnya: Memutuskan untuk mengundang Gerakan Pembebasan Nasional yang diakui oleh organisasi antar pemerintah yang ada di wilayah tersebut untuk turut serta secara penuh dalam konferensi dan dalam komite utama ini.

Adakah Sumber Hukum Humaniter Selain Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa??

elain sumber hukum humaniter internasional pokok, yang berupa Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, terdapat sumber hukum humaniter yang lainnya sebagai berikut:

1. Deklarasi Paris (16 April 1865)

Deklarasi Paris 1865 mengatur tentang Perang di Laut yang dirumuskan berdasarkan pengalaman Perang Krim tahun 1864, di mana dua negara yang bersekutu yaitu Inggris dan Perancis menerapkan prinsip-prinsip hukum perang di laut yang berbeda. Untuk mencegah terulangnya kejadian tersebut maka Deklarasi Paris memuat beberapa asas.


Asas-asas Deklarasi Paris:
a. Bahwa pembajakan dihapus dan akan tetap dihapus;
b. bendera netral melindungi barang-barang musuh, kecuali kontraband perang;
c. barang-barang netral di bawah bendera musuh tidak boleh disita, kecuali kontraband perang;
d. supaya mengikat, blokade harus efektif. Artinya dilakukan oleh suatu kekuatan yang mencukupi untuk benar-benar mencegah mendekatnya kapal ke pantai musuh.

2. Deklarasi St. Petersburg (29 November-11 Desember 1868)

Deklarasi St. Petersburg diprakarsai oleh Tsar Alexander II dari Russia karena diketemukannya sejenis peluru yang jika permukaannya mengenai benda yang keras tutupnya dapat meledak. Tujuan Deklarasi St. Petersburg adalah untuk melarang penggunaan peluru-peluru semacam itu.

3. Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara (1923)

Ketentuan khusus mengenai perang di udara dirancang pada bulan Desember 1922 sampai bulan Februari 1923 oleh komisi para ahli hukum di Den Haag, sebagai realisasi Konferensi Washington 1922. Tujuan pokok komisi ini sebenarnya hanya mengatur penggunaan radio dalam pertempuran. Rancangan ketentuan ini dipergunakan sebagai pedoman dalam pertempuran udara. Substansinya mengatur penggunan pesawat udara di dalam pertempuran dengan segala peralatan yang dimiliki.

4. Protokol Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelarangan Penggunaan Gas Cekik dan Macam-Macam Gas Lain dalam Peperangan

Larangan penggunaan gas-gas tersebut mencakup larangan penggunaan gas air mata dalam perang dan pemakaian herbasida untuk ketentuan perang. Protokol ini dirumuskan dan ditandatangani dalam suatu Konferensi untuk mengawasi perdagangan internasional senjata dan amunisi.

5. Protokol London (6 November 1936) tentang Peraturan Penggunaan Kapal Selam dalam Pertempuran

Protokol ini merupakan penegasan dari Deklarasi tentang hukum perang di laut yang dibentuk di London tanggal 26 Februari 1989 dan belum pernah diratifikasi.

Sejarah International Commitee of Red Cross (ICRC)

Ide pembentukan Palang Merah muncul ketika Henry Dunant, seorang pria Swiss yang sedang melakukan perjalanan bisnis, menyaksikan pertempuran berdarah di Solferino, Italia, pada tahun 1859 antara tentara-tentara dari kekaisaran Austria dan aliansi Franco-Sardinia yang telah menelan korban ribuan tentara yang terluka parah, terlantar, sekarat tanpa adanya pelayanan medis. Kemudian Dunant mengajak penduduk setempat untuk membantu merawat korban tanpa membeda-bedakan mereka. Sekembalinya di Jenewa, Dunant menuliskan yang disaksikannya itu dalam sebuah buku yang berjudul A Memory of Solferino (Kenangan dari Solferino). Dunant mengajukan dua usulan untuk membantu korban perang, yaitu:


1. Perlunya pada masa damai didirikan kelompok relawan setiap negara supaya mereka siap untuk merawat korban pada masa perang;
2. perlunya negara-negara meyepakati pemberian perlindungan bagi para petugas pertolongan dan para korban di medan pertempuran.
Empat warga Jenewa bergabung bersama Dunant untuk mewujudkan ambisi membentuk Gerakan Palang Merah. Keempat orang tersebut adalah: General Dufour, Gustave Moynier, Dr. Appia, dan Dr. Maunoir. Di tahun 1863 mereka membentuk Komite Internasional untuk Penyelamatan Korban Perang (International Commitee for the Relief of the Wounded), yang biasa dikenal dengan Commitee of Five (Komite Lima). Commitee of Five bersama dengan Dunant memprakarsai pembentukan Gerakan Palang Merah. Kerja keras Commitee of Five mendapat tanggapan dari berbagai negara dan kemudian mengadakan pertemuan di Jenewa pada bulan Oktober tahun 1863 untuk mendirikan Perkumpulan Sukarelawan untuk Membantu Korban Perang (relief society to assist the wounded and associations of voluntary relief workers) yang kemudian dikenal dengan Perhimpunan Palang Merah Nasional (National Red Cross Society).
Komite Palang Merah perlu diberikan status netral untuk menjamin keselamatan anggotanya pada saat melakukan tugas penyelamatan korban perang dan tugas-tugas kemanusiaan lainnya. Untuk itu, diperlukan kerja sama antarpemerintah agar konsep netral bagi Palang Merah bisa dilaksanakan dengan efektif. Berdasarkan hal tersebut, Commitee of Five meminta pemerintah Swiss agar mendukung mereka untuk mengadakan Konferensi Diplomatik guna menyusun naskah perjanjian internasional. Pada bulan Agustus tahun 1864 diadakan Konferensi Diplomatik bertempat di Jenewa, Swiss. Konferensi diikuti 12 Negara dan menandatangani Perjanjian Internasional berjudul Geneva Convention of August 22, 1864, for the Amilioration of the Condition of the wounded in Armies in the Field yang berisi 10 Pasal. Konferensi tersebut dikenal dengan Konvensi Jenewa Pertama. Penandatanganan Konvensi Jenewa Pertama merupakan suatu langkah maju dalam sejarah pembentukan Gerakan Internasional Palang Merah.
Gerakan Internasional Palang Merah merupakan fondasi berdirinya Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Gerakan ini terdiri dari Komite Internasional Palang Merah (ICRC), Perhimpunan-perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang biasa disebut dengan Perhimpunan Nasional, dan Federasi Internasional Perhimpunan-perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.

Asas hukum humaniter internasional

sas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum, dan dasar-dasar umum tersebut adalah merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis. Pengertian asas hukum ada beberapa pendapat, antara lain Satjipto Rahardjo yang berpendapat bahwa asas hukum merupakan unsur penting dan pokok dari peraturan hukum. Asas hukum adalah jantung dari peraturan hukum, karena merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum atau ratio legis peraturan hukum.

Hukum humaniter internasional mengenal tiga asas utama, yaitu:

a.Asas kepentingan militer (military necessity)

Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan senjata untuk menundukkan lawan demi terciptanya tujuan dan keberhasilan perang. Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang bersengketa (belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak melanggar hukum perang. Asas kepentingan militer ini dalam pelaksanaannya sering pula dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1)Prinsip Pembatasan (Limitation Principle)

Prinsip pembatasan adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti adanya larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-dum, serta larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering); dan lain-lain.

2)Prinsip Proporsionalitas (Proportionality Principle)

Prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek-objek sipil harus proporsional sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya serangan terhadap sasaran militer. Perlu ditegaskan bahwa maksud proporsional di sini bukan berarti keseimbangan.

Prinsip pembatasan dicantumkan di dalam Pasal 22 Hague Regulations (Lampiran dari Konvensi Den Haag IV, 1907, atau Regulasi Den Haag), yang berbunyi “the rights of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not unlimited” atau hak dari pemberontak (Belligerents) dalam menggunakan alat untuk melukai musuh adalah tidak tak terbatas, artinya dibatasi oleh aturan-aturan. Adapun batasan-batasan serta penjabaran prinsip proporsionalitas, dicantumkan lebih lanjut secara rinci di dalam Pasal 23 Hague Regulations.

b.Asas perikemanusiaan (humanity)

Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.

c.Asas Kesatriaan (Chivalry)

Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.

Penerapan ketiga asas tersebut dilaksanakan secara seimbang, sebagaimana dikatakan oleh Kunz: “Law of war to be accepted and to be applied in practice, must strike the corect balance betwen, on one hand the principle of humanity and chivalry, and on the other hand, military interest.” Yang diartikan: Hukum perang diterima dan diterapkan dalam praktik, harus searah dengan keseimbangan yang benar, antara prinsip kemanusiaan dan kesatriaan di satu sisi, dan kepentingan militer di sisi lain.

Apa yang Teramsuk dalam Hukum Den Haag??

a. Konvensi Den Haag Tahun 1899
Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan hukum tentang para pihak yang bertikai dalam melaksanakan operasi militer dan membatasi metode dan cara bertempur yang dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturan-peraturan tersebut termuat dalam Konvensi Den Haag 1899 yang direvisi tahun 1907. Sebagian besar konvensi-konvensi yang disetujui pada Konferensi Perdamaian I telah diganti konvensi-konvensi yang disetujui pada Konferensi Perdamaian II. Konferensi Perdamaian III sebenarnya telah direncanakan namun tidak dapat dilaksanakan karena pecahnya Perang Dunia I.
Konferensi Perdamaian I tahun 1899 menghasilkan tiga Konvensi dan tiga deklarasi. Konvensi-konvensi yang dihasilkan adalah:

1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional.
Konvensi ini untuk mencegah adanya perang atau paling tidak menentukan secara sangat terbatas persayaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan pernyataan perang.
2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
Memuat ketentuan yang mengatur cara melakukan operasi militer. Prinsip-prinsip dari Konvensi ini kemudian dimasukkan dalam Hukum Jenewa, yaitu Bab III Protokol tambahan I Konvensi Jenewa 1949. Ketentuan yang paling penting dari Konvensi II ini adalah menetapkan bahwa hak setiap yang terlibat dalam pertikaian bersenjata untuk memilih sarana dan metode perang tidaklah tanpa batas.
3. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang Di Laut.
Instrumen Konvensi III ini melindungi tentara yang luka, sakit, dan menjadi korban kapal karam serta tawanan perang. Pada perkembangan selanjutnya perlindungan ini telah diperluas dan lebih diperinci dalam Konvensi-konvensi Jenewa sehingga Konvensi Den Haag mengenai perlindungan ini tidak berlaku lagi.

Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
1. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum, yaitu peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam, sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia. Deklarasi ini disetujui di Den Haag tanggal 29 Juli 1899 dan mengembangkan deklarasi St. Peterspurg Tahun 1868 yang melarang penggunaan proyektil dengan berat di bawah 400 gram yang mengandung bahan peledak atau bahan pembakar.
2. Pelarangan peluncuran proyektil-proyektil dan bahan peledak dari balon, selama jangka lima tahun yang berakhir pada tahun 1905. Deklarasi ini disetujui pada tahun 1899 dan direvisi pada tahun 1907. Deklarasi kemudian dihidupkan kembali dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Masyarakat Sipil.
3. Pelarangan penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas cekik dan beracun. Deklarasi ini disetujui pada tahun 1899 dan merupakan upaya pertama untuk melarang penggunaan gas sebagai metode perang yang dianggap sangat kejam dan khianat. Prinsip ini ditegaskan kembali di Jenewa dalam protokol yang melarang penggunaan gas cekik, racun, dan senjata bakterial sebagai metode perang pada tanggal 17 Juni 1925.

b. Konvensi Den Haag 1907
Konvensi ini adalah hasil Konferensi Perdamaian II tahun 1907 sebagai lanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun 1899 di Den Haag terdiri dari konvensi-konvensi sebagai berikut:
1. Konvensi I Den Haag tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
2. Konvensi II Den Haag tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Utang yang Berasal dari Perjanjian perdata;
3. Konvensi III Den Haag tentang cara memulai peperangan yang berjudul “Convention Relative to the Opening of Hostilities”. Perang dalam arti hukum adalah perang yang dimulai dengan konvensi ini. Perang tidak dapat dimulai tanpa adanya pernyataan perang yang disertai alasan atau dengan suatu ultimatum, dengan pernyataan perang jika ultimatum itu tidak dipenuhi;
4. Konvensi IV Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat Dilengkapi dengan Peraturan Den Haag yang berjudul lengkap “Convention Respecting to Laws and Customs of War on Land” merupakan penyempurnaan dari Konvensi Den Haag Tahun 1899. Konvensi IV Den Haag hanya terdiri dari 9 pasal, yang dilengkapi dengan lampiran yang disebut Hague Regulation;
5. Konvensi V Den Haag Mengenai Hak dan Kewajiban Negara serta Warga Negara Netral dalam Perang di Darat yang berjudul “Neutral Power and Persons in Land”. Pengertian tersebut membedakan antara Negara Netral dengan Orang Netral. Negara Netral merupakan negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung, sedangkan Orang Netral adalah warga negara dari suatu negara yang tidak terlibat dalam peperangan;
6. Konvensi VI Den Haag tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Dimulai Peperangan;
7. Konvensi VII Den Haag tentang Status Kapal Dagang yang Menjadi Kapal Perang;
8. Konvensi VIII Den Haag tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut;
9. Konvensi IX Den Haag tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang;
10. Konvensi X Den Haag tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut;
11. Konvensi XI Den Haag tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut;
12. Konvensi XII Den Haag tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan;
13. Konvensi XIII Den Haag yang berjudul “Neutral Right and Duties in Maritime War” mengatur Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut.
Sebagian besar dari konvensi mengatur perang di laut. Hanya ada satu Konvensi yang mengatur perang di darat, yaitu Konvensi IV. Konvensi IV mempunyai annex yang disebut Hague Regulations -1907. Ketentuan-ketentuan Hague Regulations inilah yang sampai sekarang menjadi pegangan bagi para belligerent.

Hukum Jenewa Sebagai Sumber Hukum Humaniter

Hukum Jenewa mengenai perlindungan korban perang pada awalnya terbentuk pada tahun 1864 yang disebut Konvensi Jenewa I. Tujuan diadakannya Konvensi Jenewa adalah memberikan perlindungan kepada para pihak yang menderita dalam peperangan, baik anggota dari angkatan bersenjata ataupun penduduk sipil yang terkena dampak dari peperangan.
a. Konvensi Jenewa 1949
Konvensi Jenewa 1864 telah mengalami perubahan-perubahan, termasuk perubahan yang dilakukan pada tahun 1949. Perubahan tahun 1949 menghasilkan empat perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949, yaitu:

1. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded And Sick in Armed Forces in the Field.
(Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat)
2. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Member of Armed Forces at Sea.
(Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit, dan Kapal Karam)
3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War.
(Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tahanan Perang)
4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Person in Time of War.

(Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang)

Konvensi-konvensi ini berlaku dalam perang yang dinyatakan atau timbul di antara dua pihak peserta atau lebih, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu pihak. Konvensi-konvensi Jenewa juga berlaku untuk semua peristiwa pendudukan, sebagian, atau seluruh wilayah Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak mendapatkan perlawanan. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka para kombatan yang tertangkap di wilayah pendudukan yang tidak dapat melakukan perlawanan juga harus diperlakukan sebagai tawanan perang, dan Konvensi ini akan berlaku sekalipun salah satu pihak yang terlibat dalam konflik bukanlah salah satu peserta dari Konvensi Jenewa.
Ada beberapa hal penting dalam Konvensi Jenewa, yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Konvensi Jenewa 1949 selain mengatur perang yang bersifat internasional, juga perang yang bersifat non-internasional, yaitu perang yang terjadi di wilayah salah satu pihak Peserta Agung, antara pasukan pihak Perserta Agung dengan pasukan pemberontak.
2. Di dalam Konvensi Jenewa 1949 terdapat ketentuan-ketentuan yang berlaku utama (Common Article), yaitu ketentuan yang dianggap sangat penting sehingga terdapat dalam keempat buku dengan perumusan yang sama. Common Articles meliputi beberapa hal penting seperti ketentuan umum (Pasal 1, 2, 3, 6, dan 7), ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan (Pasal 49, 59, 51, dan 52), dan ketentuan mengenai pelaksanaan dan ketentuan penutup (Pasal 55-64).

SENGKETA BERSENJATA YANG TAK BERSIFAT INTERNASIONAL

Sengketa bersenjata yang tak bersifat internasional atau sengketa bersenjata internal terjadi antara angkatan bersenjata pemerintah dengan angkatan bersenjata yang membangkang atau oleh kelompok-kelompok bersenjata terorganisir lainnya yang memberontak terhadap pemerintah. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap mereka yang melakukan pemberontakan itu diatur dalam pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977 (selanjutnya disebut Protokol II).

Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977 menegaskan bahwa Protokol ini akan berlaku pada semua sengketa yang tidak tercakup oleh Protokol I dan yang terjadi di wilayah negara pihak antara angkatan bersenjatanya dan angkatan bersenjata pembrontak (dissident armed forces) atau kelompok-kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang berada di bawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan pengawasan atas sebagian wilayahnya sehingga memungkikan mereka melaksanakan operasi militer yang berkelanjutan dan serentak dan melaksanakan Protokol ini.

Dari ketentuan ini, maka dapat dikatakan bahwa agar dapat memiliki status pemberontak harus dipenuhi syarat struktural, yaitu adanya komando yang bertanggung jawab, dan syarat intensitas berupa penguasaan suatu wilayah yang memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara berkelanjutan dan serentak.


Hukum yang berlaku

Di samping hukum nasional, dan ketentuan-ketentuan hak asasi manusia, bagi negara-negara yang menjadi pihak pada Protokol II, berlaku ketentuan pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol II 1977, sedangkan bagi negara-negara tidak menjadi pihak pada Protokol II tersebut hanya berlaku ketentuan yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949.

Pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi Jenewa-konvensi Jenewa 1949 menyatakan sebagai berikut: Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah satu dari Pihak Peserta Agung; tiap pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan berikut:

1). Orang yang tidak ikut dalam sengketa termasuk anggota angkatan perang yang meletakkan senjata serta tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apa pun, dalam keadaan bagaimana pun harus diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaaan merugikan berdasarkan suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan atau kriteria sejenis lainnya. Untuk maksud ini maka terhadap orang-orang tersebut kapan dan dan di mana pun juga tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan berikut:

kekerasan terhadap jiwa, raga, terutama segala macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan,
penyanderaan,
 perkosaan terhadap kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat,
 menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului oleh keputusan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab.

2). Yang luka dan sakit harus dikumpulkan.

Sebuah badan humaniter tidak berpihak dapat menawarkan, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasa-jasanya kepada Pihak-pihak dalam sengketa.

Pihak-pihak dalam sengketa, selanjutnya harus berusaha untuk menjalankan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari Konvensi ini.

Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum Pihak-pihak dalam sengketa.

Ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam sengketa bersenjata internal dalam Protokol II 1977, pada prinsipnya mengembangkan dan memperluas ketentuan-ketentuan pasal 3 yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949, yag pada intinya memuat hal-hal berikut:

• prinsip yang memberikan jaminan mendasar bagi perlakuan manusiawi diulangi kembali (pasal 4) sama dengan jaminan yang diberikan dalam pasal 3 yang bersamaan
• minimum perlakuan yang ditetapkan terhadap orang yang diasingkan atau ditahan karena alasan yang terkait dengan sengketa bersenjata (pasal 5.1 (a) sampai (e), meliputi: (a) perawatan atas orang yang luka dan sakit, (b) persedian makanan, air, fasilitas kesehatan dan gizi, dan perlindungan, (c) hak menerima bantuan perorangan atau kolektif (f) hak melaksanakan agama dan menerima bantuan spiritual, dan (g) kondisi kerja dan jaminan yang sama dengan yang diberikan kepada penduduk setempat.
• Mereka yang bertanggung jawab atas pengasingan dan penahanan, sampai batas kemampuan mereka harus menghormati ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan orang-orang tersebut (pasal 5.2 (a) sampai (e): (a) tempat penahanan yang terpisah antara laki-laki dan perempuan (kecuali dalam kasus keluarga), dan pengawasan perempuan oleh perempuan (b) hak menerima dan mengirim surat dan kartu (c) tempat pengasingan dan penahanan tidak boleh dekat dengan kawasan pertempuran (d) hak atas keuntungan pemeriksaan kesehatan (e) kesehatan dan keutuhan jasmani dan rohani mereka tidak boleh dibahayakan karena perbuatan atau kealpaan yang tak dapat dibenarkan.
• Perlindungan padal 4 dan 5.1 (a), (c) dan (d) dan 5.2 (b) diperluas kepada orang-orang yang dicabut kemerdekaannya karena alasan yang berkaitan dengan sengketa bersenjata, yang tidak tercakup oleh ayat 1 (pasal 5.3).
• Pasal 6 secara khusus menetapkan jaminan minimum kemerdekaan dan ketidakberpihakan dalam proses peradilan: (a) informasi segera atas dakwaan pidana, (b) asas tanggung jawab pidana perorangan, (c) tidak berlaku surutnya hukum pidana, (d) asas praduga tak bersalah, (e) hak untuk hadir di pengadilan (f) tidak ada kewajiban untuk memberikan keterangan atau mengaku salah.

Pemeliharaan keamanan dan ketertiban

Menurut de Rover, ada persoalan yang berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan ketertiban dalam sengketa bersenjata internal, yaitu apakah ini akan tetap dilaksanakan oleh badan-badan penegak hukum yang ada atau digantikan oleh angkatan bersenjata. Pertanyaan tersebut dijawab sendiri oleh Rover, bahwa dengan mengingat kesesuaian (dalam arti pelatihan, perlengkapan dan kehadirannya) jelas bahwa angkatan bersenjata tidak boleh digunakan bagi penegakan dan pemeliharaan ketertiban umum. Karena alasan strategis, maka tanggung jawab dasar bagi penegakan hukum harus dibiarkan berada pada kekuasaan badan-badan penegak hukum selama mungkin.

Sengketa bersenjata internal dapat mengarah kepada keadaan “ketidakpatuhan umum (public disobeyance)” yang di dalamnya penghormatan aturan hukum sangat terancam. Jika tidak ditangani segera, ketidakpatuhan publik dapat berkembangan kepada budaya pembebasan tanpa proses hukum (impunity). Oleh karenanya penting bagi badan-badan penegak hukum untuk tetap bekerja dan mengelola dengan sungguh-sungguh kegiatan mereka untuk mencegah dan medeteksi kejahatan. Para penjahat harus diajukan ke pengadilan dan aturan hukum yang berlaku. Sebaliknya demokrasi dan rule of law terutama merupakan korban tambahan dari sengketa bersenjata.

LAMBANG

Pengadopsian sebuah tanda pembeda yang tunggal yang dapat memberikan perlindungan bagi dinas medis militer, relawan pekerja pertolongan, dan korban konflik bersenjata merupakan salah satu tujuan utama dari Commitee Five yang pada tanggal 17 Februari 1863 mengadakan pertemuan untuk mempelajari usulan Henry Dunant. Komite inilah yang kemudian menjadi Komite Internasional Palang Merah (ICRC). Tanda pembeda tersebut kemudian disebut sebagai lambang, harus sederhana, mudah dikenali dari jarak jauh, dikenal oleh setiap orang, dan diakui oleh teman maupun musuh.
Konferensi Diplomatik yang diadakan di Jenewa pada tahun 1864 mengadopsi tanda berupa palang merah di atas dasar putih, yang merupakan kebalikan dari bendera Swiss. Namun dalam perang Rusia-Turki tahun 1876-1878, kekaisaran Ottoman menyatakan akan menggunakan tanda berupa bulan sabit merah, bukan palang merah, sebagai lambang dan akan tetap menghormati lambang palang merah yang digunakan oleh pihak musuh. Setelah itu Persia juga menyatakan untuk menggunakan tanda yang lain, yaitu singa dan matahari merah. Kedua lambang ini kemudian diakui oleh Konferensi Diplomatik yang diadakan pada tahun 1929.
Lambang palang merah, bulan sabit merah, dan atau singa dan matahari merah berhak memperoleh penghormatan sepenuhnya berdasarkan hukum internasional, namun kadang-kadang timbul persepsi bahwa lambang tersebut memiliki konotasi budaya, agama, atau politik tertentu. Hal ini dapat membahayakan pemberian perlindungan bagi korban konflik bersenjata, dinas medis militer, dan pekerja kemanusiaan. Selain itu, Perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan sabit Merah yang tidak ingin memakai lambang tersebut tidak dapat diakui sebagai anggota penuh Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Ini mempersulit Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional mewujudkan prinsip kesemestaan, yang merupakan salah satu prinsip dasar, serta menciptakan kemungkinan terus munculnya lambang-lambang baru.
Untuk mengatasi masalah tersebut, diusulkan pemberlakuan sebuah lambang baru yang bisa diterima oleh semua Perhimpunan Nasional dan semua Negara. Gagasan ini sangat didukung oleh Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dan pada tanggal 8 Desember 2005, negara-negara peserta Konvensi-konvensi Jenewa 1949 mengadopsi Protokol Tambahan III tahun 2005, yang menetapkan penggunaan lambang tambahan. Protokol Tambahan III tahun 2005 mengakui sebuah lambang tambahan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bebas dari konotasi agama, budaya, dan politik;
b. memiliki status hukum yang sama seperti palang merah dan bulan sabit merah, serta boleh digunakan dengan cara yang sama juga dengan syarat yang sama;
c. boleh digunakan untuk sementara waktu oleh dinas medis yang diperbantukan pada angkatan bersenjata sebagai penganti lambang dinas medis itu sendiri apabila diperlukan, dalam rangka meningkatkan perlindungan bagi dinas medis tersebut;
d. boleh digunakan dalam keadaan perkecualian atau luar biasa dalam rangka memperlancar ICRC, Federasi Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Federasi Internasional), dan Perhimpunan-perhimpunan Nasional.

Lambang yang diakui sebagai lambang tambahan dalam Protokol Tambahan III adalah Kristal Merah. Penggunaan lambang Kristal Merah memenuhi beberapa fungsi, yaitu:
a. Tidak menggantikan palang merah atau bulan sabit merah;
b. memperbanyak pilihan lambang;
c. berkontribusi bagi terwujudnya prinsip kesemestaan gerakan;
d. memperkuat nilai perlindungan dari lambang-lambang yang ada;
e. memberikan fleksibelitas yang lebih besar dalam hal penggunaan lambang;
f. mengakhiri pertambahan jenis lambang.

Protokol ini memberikan fleksibelitas yang lebih besar kepada Negara-negara dan Perhimpunan-perhimpunan Nasional yang tidak menggunakan palang merah, bulan sabit merah, atau singa dan matahari merah untuk menjadi anggota penuh Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.

ICRC

ICRC berkedudukan sebagai badan yang netral dan mandiri sesuai ketentuan Pasal 5, bagian ketiga Anggaran Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional menetapkan bahwa ICRC dapat berprakarsa dalam hal perikemanusiaan termasuk peranannya sebagai penengah yang netral dan mandiri, serta dapat mempertimbangkan setiap masalah yang perlu diperhatikan institusi semacam ini.


Hak untuk setiap prakarsa terdapat pada sifat ICRC sendiri, kemandiriannya yang menjamin bahwa ICRC tidak dapat dipengaruhi dalam kebijaksanaan oleh golongan apapun dan akan tetap mempertimbangkan masalah kemanusiaan yang perlu di atasi secara objektif, serta kenetralannya yang menjamin bahwa ICRC tidak memihak dalam permusuhan atau dalam kontroversi dan akan mengucapkan penilaian yang tidak akan mendukung salah satu pihak.
Kedudukan ICRC sebagai badan penengah yang netral menjadi semakin penting karena jenis konflik yang berlangsung di masa kini melibatkan semakin banyak pihak yang berlainan, seperti kelompok bersenjata, pemberontak, milisi, dan bersifat semakin komplek sehingga suatu penengah dirasakan sangat perlu. Negara dan badan organisasi lainnya sebenarnya bisa juga menjadi penengah, namun ICRC memiliki beberapa kelebihan dibanding mereka, di samping struktur keuangan ICRC memungkinkan pembiayaan langsung sehingga tidak perlu menunggu bantuan dana dari pihak lain, ICRC juga dapat memperlakukan semua korban tanpa dikriminasi mengesampingkan pertimbangan politis dan lebih berdasarkan prinsip kesamaan dan kenetralannya.
Selain itu ICRC sebagai promotor dan pemelihara hukum humaniter internasional, harus mendorong penghormatan terhadap hukum humaniter internasional tersebut. ICRC melakukan hal itu dengan menyebarluaskan pengetahuan mengenai ketentuan-ketentuan hukum humaniter internasional, karena ketidaktahuan terhadap hukum humaniter internasional merupakan hambatan bagi implementasi hukum humaniter itu sendiri. ICRC mengingatkan negara-negara bahwa mereka telah berjanji untuk menjadikan ketentuan-ketentuan hukum humaniter diketahui. ICRC juga mengambil tindakan sendiri untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum humaniter internasional diketahui. ICRC melakukan hal ini terutama melalui pelayanan konsultasi mengenai hukum humaniter, yaitu pelayanan yang memberikan panduan teknis kepada negara-negara dan membantu para pemimpinnya untuk mengadopsi peraturan pelaksanaan pada tingkat nasional.
Peranan ICRC didasarkan pada Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan, dengan dukungan komponen lainnya (Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dan Fedrasi Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah) wewenang dan peranan ICRC menjadi semakin luas.
Peranan Palang Merah Internasional dalam hukum humaniter menurut Konvensi Jenewa 1949 yaitu:
a. Sebagai badan yang netral; Dalam masa perang, perang sipil atau kerusuhan-kerusuhan, Komite Palang Merah Internasional berperan sebagai badan netral dan berusaha untuk menjamin korban-korban, baik sipil maupun militer, akan mendapatkan perlindungan dan pertolongan.
b. Mempunyai hak untuk berprakarsa; Komite Palang Merah Internasional boleh mengambil prakarsa demi kemanusiaan sesuai dengan peranan sebagai badan yang netral dan mandiri.
c. Sebagai pelindung asas-asas; Komite Palang Merah Internasional bertugas menjaga asas-asas Palang Merah dan juga memberikan penghargaan pada Perhimpunan Palang Merah Nasional yang secara resmi menjadi bagian dari Palang Merah Internasional.
d. Sebagai pelaksana Konvensi Jenewa 1949; Komite Palang Merah Internasional bertanggungjawab atas pengembangan hukum perikemanusiaan atau hukum humaniter, atas pemahaman, penyebarluasan, dan mengamalkan tugas-tugas yang terkandung dalam Konvensi Jenewa 1949, serta mengamati pelaksanaannya, dan bila perlu mengembangkannya lebih lanjut.
Peranan Palang Merah Internasional dalam hukum humaniter yang terdapat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Gerakan Palang Merah Dan Bulan Sabit Merah Internasional, yaitu:
a. Menyebarluaskan dan memelihara prinsip-prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
b. Memberikan pengakuan terhadap setiap perhimpunan nasional yang baru didirikan atau yang dibentuk kembali yang telah memenuhi syarat untuk diakui dan memberitahukan kepada Perhimpunan-perhimpunan Nasional di seluruh dunia mengenai pengakuan tersebut.
c. Melaksanakan tugas yang dibebankan oleh Konvensi-konvensi Jenewa 1949, bekerja untuk melaksanakan hukum humaniter internasional dalam pertikaian senjata dan memperhatikan keluhan-keluhan berdasarkan dugaan adanya pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional tersebut.
d. Setiap saat berupaya sebagai suatu lembaga netral yang melaksanakan kegiatan kemanusiaan terutama pada saat pertikaian bersenjata internasional maupun pertikaian bersenjata non-internasional, menjamin perlindungan terhadap korban-korban militer dan penduduk sipil dari konflik tersebut dan akibat langsungnya.
e. Menjamin bekerjanya Kantor Pusat Pelacakan (The Central Tracing Agency) yang ditetapkan dalam Konvensi Jenewa.
f. Membantu melatih petugas kesehatan dan menyediakan alat-alat kesehatan, bekerjasama dengan Perhimpunan Nasional, instansi kesehatan militer dan sipil serta pihak lainnya untuk persiapan apabila terjadi konflik bersenjata.
g. Menyebarluaskan dan diseminasi hukum humaniter internasional serta mengadakan persiapan bagi perkembangannya.
h. Menjalankan mandat yang dipercayakan oleh Konferensi Internasional.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa ICRC merupakan guardian of international humanitarian law. ICRC mempunyai tugas dan peran penting dalam hukum humaniter internasional di mana ICRC bertindak sebagai pelaksana dari ketentuan yang berlaku dalam hukum humaniter internasional untuk diterapkan dalam konflik bersenjata. Sehubungan dengan peran ICRC sebagai pelaksana hukum humaniter internasional tersebut di atas, ICRC mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a. The monitoring functions, yaitu ICRC berperan sebagai organisasi yang memantau bagaimana aturan-aturan kemanusiaan harus diterapkan dalam situasi nyata pertikaian bersenjata dan juga menyiapkan diri untuk bisa beradaptasi serta mengembangkan diri ketika dibutuhkan.
b. The catalyst function, yaitu ICRC mempunyai fungsi untuk bisa memberikan dorongan kepada Perhimpunan-perhimpunan Nasional, serta mendiskusikan berbagai permasalahan yang ada dan mencari jalan keluar baik itu berdasarkan ketentuan hukum maupun kebijakan lainnya.
c. The promotion function, yaitu fungsi ICRC untuk bisa menyebarluaskan dan memberikan pengajaran serta mendesak negara-negara untuk membuat peraturan-peraturan yang dibutuhkan.
d. The guardian angel function, yaitu ICRC mempunyai fungsi untuk terus mempertahankan hukum humaniter internasional dan menjaga agar tetap dihormati keberadaannya.
e. The direct action function, yaitu ICRC terlibat langsung dalam memberikan sumbangan nyata dalam penerapan hukum pada saat pertikaian bersenjata.
f. The watchdog function, yaitu ICRC bertindak sebagai organisasi pertama yang peduli akan situasi kemanusiaan apabila terjadi pertikaian bersenjata

Istilah dan pengertian hukum humaniter internasional

Hukum humaniter internasional dahulu disebut hukum perang, atau hukum sengketa bersenjata yang pada umumnya termuat dalam aturan tingkah laku, moral, dan agama yang terdapat pada ajaran agama Budha, Konfusius, Yahudi, Kristen dan Islam, bahkan pada masa 3000-1500 SM ketentuan ini sudah ada pada bangsa Sumeria, Babilonia, dan Mesir Kuno. Konsep perang yang adil (just war) telah dikenal bangsa Yunani. Pada abad ke-18 Jean Jacques Rosseau dalam bukunya The Social Contract mengajarkan bahwa perang harus berdasarkan moral. Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi hukum humaniter internasional.

Istilah hukum humaniter internasional atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan hukum humaniter internasional. Istilah hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict) sebagai pengganti hukum perang (laws of war) banyak dipakai dalam Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang, Protokol Tambahan I 1977 tentang Sengketa Bersenjata Internasional, dan Protokol Tambahan II 1977 tentang Sengketa Bersenjata Non-Internasional. Pada permulaan abad ke-20 diatur pula mengenai cara berperang yang konsepsi-konsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (Humanity Principle). Perkembangan ini membuat istilah hukum sengketa bersenjata mengalami perubahan, yaitu menjadi Hukum Humaniter Internasional yang Berlaku dalam Sengketa Bersenjata (International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict) atau disebut Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law). Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda, yaitu hukum perang, hukum sengketa bersenjata, dan hukum humaniter internasional, namun istilah-istilah tersebut memiliki arti yang sama.

Hukum perang atau hukum humaniter internasional merupakan sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam hal kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh yang boleh digunakan dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya konflik bersenjata. Seandainya tidak ada kaidah hukum humaniter, maka kebiadaban dan kebrutalan perang tidak akan dapat dikekang lagi.

Hukum humaniter internasional memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan di mana aturan-aturan hukum humaniter internasional itu timbul, dan lebih sulit lagi untuk menyebutkan pencipta dari hukum humaniter internasional. Sedemikian tuanya sejarah perang atau konflik antar umat manusia, Quincy Wright, pakar hukum internasional terkemuka mengkategorikan empat tahapan perkembangan sejarah perang, yaitu:

(1) Perang yang dilakukan oleh binatang (by animals)

(2) Perang yang dilakukan oleh manusia primitif (by primitive men)

(3) Perang yang dilakukan oleh manusia yang beradab (by civilized men)

(4) Perang yang menggunakan teknologi modern (by men using modern technology)



Hukum humaniter internasional merupakan bagian dari hukum internasional umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungan individu, khususnya dalam situasi-situasi perang. Istilah hukum humaniter internasional adalah istilah yang relatif baru, di mana istilah ini muncul tahun 1971 ketika diadakan Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Develpment in Armed Conflict. Selanjutnya dari tahun 1974 sampai dengan 1977 diadakan Diplomatic Conference on the Reaffirmation and Development of International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict.

Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat berbagai rumusan atau definisi dan ruang lingkup hukum humaniter internasional. Rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai berikut:



a. Menurut Jean Pictet:

International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, wheter written and customary, ensuring respect for individual and his well being. Pengertian di atas dapat diartikan: Hukum humaniter international dalam pengertian yang luas termasuk dalam ketentuan hukum, baik tertulis, maupun kebiasaan, menjamin penghormatan individu dan kebaikannya.

b. Geza Herzeg merumuskan hukum humaniter internasional sebagai berikut:

Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time armed conflict. Its place is beside the norm of werfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different.



Hal ini dapat diterjemahkan: Bagian dari aturan hukum internasional publik yang memberikan perlindungan kepada individu pada saat sengketa bersenjata. Yang berada di samping ketentuan perang atau yang serupa dengan itu, tetapi harus jelas membedakan maksud dan semangat yang menjadi perbedaan.

c. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum humaniter internasional adalah:

Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut mengenai cara melakukan perang.

d. Esbjorn Rosenbland, merumuskan hukum humaniter internasional dengan mengadakan pembedaan antara:

Hukum sengketa bersenjata, yaitu mengatur tentang permulaan dan berakhirnya pertikaian, pendudukan wilayah lawan, dan hubungan pihak bertikai dengan negara netral. Selanjutnya merumuskan Law of Warfare, yang mencakup metode dan sarana berperang, status kombatan, dan perlindungan terhadap mereka yang sakit, tawanan perang, serta orang-orang sipil.



e. Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undangan merumuskan sebagai berikut:

Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah, dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan harkat dan mertabat seseorang.

Dari definisi-definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ruang lingkup hukum humaniter internasional dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu aliran luas, aliran tengah, dan aliran sempit. Aliran luas dianut oleh Jean Pictet, dapat diartikan bahwa hukum humaniter internasional mencakup Hukum Jenewa, Hukum Den Haag, dan Hak Asasi Manusia. Aliran sempit menyatakan bahwa hukum humaniter internasional hanya menyangkut Konvensi Jenewa. Aliran ini dianut oleh Geza Harzegh. Sedangkan Starke dan Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter internasional terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag.

Hukum humaniter internasional terdiri dari sekumpulan aturan internasional yang bertujuan untuk membatasi akibat-akibat dari peperangan, baik orang maupun objek-objek lainnya. Hukum humaniter internasional tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter internasional, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Hukum humaniter internasional mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter internasional adalah untuk memanusiawikan perang.Secara umum tujuan yang paling mendasar dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu, juga menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan lawan, harus dilindungi dan dirawat serta berhak diberlakukan sebagai tawanan perang, dan untuk mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas, yang terpenting adalah asas-asas perikemanusiaan.

Senin, 19 April 2010

TMS - RFL

.SITUASI DIMANA KEGIATAN TRACING DIBUTUHKAN

”Seorang kopral muda, berumur kira-kira duapuluh tahun, dengan roman mukanya yang halus, terkena peluru di sebelah kiri tubuhnya. Sudah tidak ada harapan baginya, dan ia menyadari keadaannya. Setelah saya menolongnya untuk minum, dia mengucapkan terima kasih dan berkata sambil menangis; ”Oh, seandainya Tuan dapat menulis sepucuk surat kepada Ayah saya untuk menghibur Ibu saya!”. Saya mencatat alamat orang tuanya dan sesaat kemudian dia meninggal.

Orang tuanya tinggal di (....) di Lyons (Perancis), dan pemuda tersebut, yang terdaftar sebagai tentara sukarelawan adalah satu-satunya putra mereka. Kecuali berita yang saya sampaikan, mereka tidak menerima kabar lainnya, namanya terdapat di daftar orang yang dilaporkan’hilang’ ”

Kutipan ini diambil dari buku berjudul ”Kenangan dari Solferino” yang ditulis oleh Henry Dunant. Buku itu menceriterakan pengalamannya waktu ia membantu korban-korban akibat pertempuran di Solferino pada tahun 1859.

Orang yang menjadi korban perang/bencana dapat mengalami dua macam penderitaan, yang sama beratnya karena dapat menghancurkan kehidupan manusia. Kedua jenis penderitaan itu adalah, penderitaan jasmani, apabila seorang diserang sakit atau terkena luka dan penderitaan mental, apabila seorang terputus hubungan dengan orang-orang yang dicintainya.

Penderitaan fisik dan kerugian materiil mendapat perhatian utama dalam program bantuan dan operasi medis. Kebutuhan tersebut paling darurat untuk dipenuhi. Namun disamping itu, masih perlu mengobati luka-luka psikis yang seringkali membutuhkan waktu lebih lama sampai bisa sembuh, bahkan lama setelah konflik berakhir.

Ketidakpastian tentang keberadaan sanak saudara menyebabkan kecemasan, keraguan bahkan ketakutan. Satu-satunya cara untuk meringankan beban psikis yang diakibatkan oleh ketidakpastian tersebut dengan cara memberikan informasi yang jelas, relevan dan akurat.

II. SITUASI PENYEBAB TERPUTUSNYA KOMUNIKASI

Pelayanan Pencarian dan Penyampaian Berita Palang Merah (Red Cross Message/RCM) dibutuhkan setiap kali komunikasi antara anggota keluarga terputus. Kasus seperti ini dapat terjadi sehubungan dengan berbagai macam situasi. Jadi sebagai akibat terputusnya komunikasi, penderitaan mental dapat timbul dalam berbagai macam konteks yang berbeda misalnya;

• Seorang istri yang tidak mengetahui nasib dari suaminya, setelah terjadinya konflik diwilayah terdekat dimana suaminya tinggal.
• Seorang ayah yang tidak tahu tentang keberadaan istri dan anaknya. Pada waktu dia di kantor, rumahnya tertelan tanah longsor dan dia tidak tahu apakah keluarganya sempat menyelamatkan diri atau sudah menjadi korban bencana tersebut.
• Siapa saja di suatu negara yang punya keluarga di negara lain, dimana secara tiba-tiba perang pecah dan mengakibatkan semua saluran komunikasi biasa menjadi terputus.
• Seorang tawanan perang yang mengalami penderitaan psikis, karena tidak dimungkinkan untuk berhubungan dengan keluarganya.

Berbagai macam situasi tersebut dapat dibagikan dalam beberapa kategori sebagai berikut ini;

• Pertikaian bersenjata
• Kekacauan/ketegangan dalam negeri
• Bencana alam
• Kasus sosial

III. Dasar Hukum RFL

Pemulihan Hubungan Keluarga (Restoring Family Link/RFL) diantara anggota keluarga yang terpisah akibat konflik dan bencana adalah salah satu kegiatan yang telah lama dibentuk oleh ICRC dan Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Nasional. Untuk memulihkan hubungan keluarga, Komite Internasional Palang Merah/ International Committee of the Red Cross/ICRC bekerjasama dengan Perhimpunan Nasional di seluruh dunia.

Pemulihan Hubungan Keluarga (RFL) dan pencarian orang-orang hilang disebutkan dalam Hukum Perikemanusiaan Internasional (Konvensi Jenewa 1949) isinya diantaranya;

• Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik harus memberikan informasi yang terperinci menyangkut orang-orang terluka dan anggota dari angkatan bersenjata yang sakit dan mereka yang terbunuh dalam tugas ke Biro Informasi Nasional yang didirikan oleh masing-masing pihak, selanjutnya harus diteruskan kepada Badan Pusat Pencarian (CTA) ICRC (Konvensi Jenewa pertama pasal 15, 16 dan Konvensi Jenewa kedua pasal 18, 19)
• Begitu ditangkap, seorang tawanan perang (POW) berhak untuk mengirim kartu penahanan kepada keluarganya dan ke Badan Pusat Pencarian (CTA) (konvensi Jenewa ketiga pasal 70)
• Orang-orang sipil mempunyai hak untuk mengirim dan menerima berita keluarga, pertukaran ini dibantu oleh Badan Pusat Pencarian (CTA) bilamana pelayanan kantor pos umum tidak berfungsi (Konvensi Jenewa keempat pasal 25)
• Segera setelah penahanan, orang-orang sipil mempunyai hak untuk mengirim kartu penahanan kepada keluarganya dan CTA (Konvensi Jenewa keempat pasal 106)
• Kedua belah pihak yang bertikai harus memudahkan permohonan para anggota keluarga untuk memulihkan hubungan satu sama lain dan mencoba untuk mempersatukan mereka (Konvensi Jenewa keempat pasal 26)
• Para keluarga mempunyai hak untuk diberitahu tentang nasib dari anggota keluarganya yang hilang dan pada pihak yang bertikai harus mencari anggota keluarga yang dilaporkan hilang (Protokol Tambahan I pasal 32)
• Negara-negara harus memudahkan penyatuan para anggota keluarga yang terpisah karena pertikaian bersenjata dalam setiap kemungkinan, dan mengundang organisasi kemanusiaan melakukan tugas ini (Protokol Tambahan I pasal 74)

IV. Badan Pusat Pencarian (CTA)

Badan Pusat Pencarian (Central Tracing Agency/CTA) adalah sebuah divisi di Markas Besar ICRC di Jenewa, Switzerland. Tugas utamanya adalah:

• Untuk mengsupervisi dan memberi petunjuk tujuan ICRC untuk memulihkan hubungan keluarga yang hilang akibat konflik atau kekerasan internal
• Untuk memberi kontribusi kepada Perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang ingin mengadakan pelayanan tracing
• Untuk bertindak sebagai penasehat tehnik kepada Perhimpunan Nasional melalui delegasi ICRC di lapangan

CTA dimulai pada tahun 1870 bersamaan dengan perang Franco-Prussia, dan sudah beroperasi di semua konflik besar di seluruh dunia.

CTA bertujuan untuk:
• Memulihkan dan mempertahankan hubungan keluarga
• Mengabungkan kembali keluarga yang terpisah
• Mendapatkan apa yang telah terjadi terhadap para tahanan dan orang-orang yang dilaporkan hilang

CTA melaksanakan ini melalui:
• Menerima berita dari wilayah konflik dan mengorganisir pertukaran berita keluarga
• Mencari orang-orang yang hilang
• Mengklarifikasi nasib dari mereka yang dilaporkan hilang
• Registrasi individu
• Melindungi anak-anak di bawah umur dan orang-orang rentan lainnya
• Mempersatukan keluarga




V. TRACING & MAILING SERVICE (TMS/RFL) PMI

TMS PMI didirikan pada tahun 1979 untuk membantu pengungsi Vietnam yang datang ke Indonesia dengan jumlah yang terus meningkat sejak Mei 1975 yang ditempatkan pemerintah di Pulau Galang – Kepulauan Riau.
Dalam prakteknya TMS PMI bekerjasama dengan ICRC memberikan kegiatan tracing dan memudahkan pertukaran surat-menyurat antara para penggungsi dan anggota keluarganya.

Setelah itu kejadian demi kejadian di Indonesia TMS turut aktif dalam membantu korban yang membutuhkan, seperti;

Perang Teluk
Selama perang Teluk pada tahun 1991, PMI bekerjasama dengan Perhimpunan Bulan Sabit Merah di Arab Saudi untuk memudahkan pertukaran lebih dari 7.000 Berita Keluarga Palang Merah (RCM) antara para pekerja Indonesia di Arab Saudi dan keluarganya di Indonesia.

Gempa Bumi di Flores
Setelah gempa bumi dasyat mengguncang Maumere Flores pada tahun 1992, para relawan TMS PMI melakukan tracing bagi orang-orang yang dilaporkan hilang yang diyakini mereka adalah korban bencana. TMS juga mengadakan pertukaran berita keluarga.

Konflik Internal di Ambon, Maluku Utara dan Kalimantan Barat
Setelah konflik terjadi di wilayah tersebut, ICRC dan PMI bekerjasama untuk mengakses keperluan tracing bagi orang-orang lokal. PMI Pusat memberikan dukungan dan menghimbau PMI Daerah dan Cabang untuk menjawab keperluan yang timbul. Untuk Ambon dan Maluku Utara karena jaringan pos tidak berfungsi, RCM yang dikirim ke PMI Daerah dan Cabang disampaikan melalui kantor PMI Pusat yang bekerjasama dengan perwakilan ICRC yang bertugas di Ambon dan Maluku Utara.

Timor-Timur
Sejak tahun 1975, TMS sudah aktif dalam pembagian RCM untuk masyarakat Timor-Timur. Konflik di Timor-Timur menyebabkan perpisahan antara ribuan keluarga. Pada tahun 1999, setelah referendum untuk kemerdekaan yang diakhiri konflik juga menyebabkan banyak orang dari wilayah itu untuk meninggalkan tempatnya dan pergi ke Timor Barat (NTT) dan wilayah lain di Indonesia. Dalam kerjasamanya dengan ICRC, sebuah kantor TMS PMI dibuka di Kupang dan Atambua, Timor Barat, untuk membantu ribuan pengungsi Timor-Timur. Hingga saat ini, ICRC dan PMI masih melanjutkan kegiatannya dalam pertukaran berita keluarga diantara orang-orang di Timor-Timur dan di Indonesia.

Kejadian Bom di Bali
Segera setelah kejadian bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 di Bar Pady dan Sari Club di Kuta Legian, sebuah tim dari PMI Pusat dan ICRC Jakarta ditugaskan ke Bali untuk mengkoordinir tarcing para korban khususnya warga negara Indonesia yang dilaporkan hilang. Dalam menjawab insiden ini merupakan sebuah pengalaman bagi TMS PMI.

Sampai kepada kejadian yang baru-baru ini terjadi seperti; tsunami NAD, Sumatra Utara, Yogyakarta, Jawa Tengah dan Pangandaran.

Tugas Utama TMS adalah;

a. Mendata, memproses dan menyampaikan data untuk identifikasi
b. Menyampaikan Berita Palang Merah/RCM
c. Melakukan pencarian orang hilang
d. Penyatuan keluarga
e. Mendapatkan surat-surat resmi/penting yang dapat digunakan untuk mendapatkan pension, pelayanan kesehatan, dsb.

VI. BERITA PALANG MERAH/RCM

Dalam situasi konflik, pergolakan politik dan bencana, pelayanan pos dan komunikasi telepon seringkali terganggu. Hal ini berarti hubungan normal antara anggota keluarga dan kerabat dekat kemungkinan terganggu. Palang Merah bertugas untuk memperkenankan tukar menukar berita keluarga agar diadakan kembali atau diteruskan apabila jalur komunikasi tersebut terganggu oleh keadaan selama masa-masa konflik, pergolakan politik atau bencana. Palang Merah menggunakan Berita Palang Merah (Red Cross Message/RCM) sebagai alat untuk memulihkan kontak antara anggota keluarga yang terpisah.



Apa itu Berita Palang Merah/RCM?
Berita Palang Merah/RCM adalah merupakan jaringan komunikasi alternatif yang dikirim melalui jaringan Palang Merah dalam bentuk surat terbuka yang ditulis dalam formulir standar Palang Merah dan hanya memuat berita mengenai keluarga.
Formulir standar Palang Merah terdiri dari dua halaman; halaman pertama untuk pengirim menulis berita dan halaman kedua untuk penerima membalas berita. Apabila si penerima menginginkan halaman pertama untuk disimpan karena isi berita/pesan-pesan dan alamatnya maka halaman pertama boleh disobek dan penerima dapat membalas pada halaman kedua.

Formulir Berita Palang Merah terbatas kepada;

• Nama dan alamat lengkap dari pengirim maupun penerima
• Terbatas pada berita pribadi atau berita keluarga, tidak berbau politik, ekonomi, militer, diskriminasi dan kata-kata penghinaan.
• Teks berita sebatas kolom yang tersedia dalam formulir
• Format surat terbuka, memudahkan untuk dibaca dan disensor.
• Dikirim hanya melalui jaringan Gerakan Palang Merah, yaitu ICRC dan Perhimpunan Nasional (PMI Pusat, PMI Daerah dan PMI Cabang)
• RCM tidak dapat dipergunakan di luar Gerakan Palang Merah

Kriteria Berita Palang Merah/RCM;

• Apakah ada hubungan keluarga antara pengirim dan penerima (contoh; antara ayah, ibu, anak, kakak, adik, nenek, kakek)
• Apakah alamat pengirim dan penerima cukup agar berita dapat terkirim
• Apakah RCM hanya memuat berita keluarga (berita keadaan kesehatan, kelahiran, kematian, pernikahan sdb.)
• Apakah Palang Merah ada akses memasuki wilayah dimana alamat penerima berada

Bagaimana Berita Palang Merah/RCM disampaikan;
Seperti bantuan PMI lainnya RCM juga harus disampaikan langsung kepada penerima oleh petugas TMS PMI/relawan PMI dan diharapkan mendapatkan balasan/jawaban dari penerima pada waktu menyerahkan RCM tersebut. Berita-berita yang sensitiv seperti; berita kematian, perceraian dsb. Harus disampaikan dengan hati-hati.
Dalam hal mencari penerima petugas TMS/relawan PMI dapat saja;

• Menghubungi para tetangga, pengurus RT/RW, tetua adat atau para kepala suku
• Menempatkan daftar nama penerima di tempat umum seperti di kamp pengungsi, posko PMI, dll. (biasanya RCM dalam jumlah banyak)
• Menyiarkan di radio setempat (biasanya RCM dalam jumlah banyak)

Sensor;

RCM adalah sebuah surat terbuka artinya isinya dapat dibaca oleh yang berwenang (petugas PMI atau penguasa setempat). Petugas TMS PMI harus bertanggungjawab atas isi RCM tersebut, untuk itu;

• Setiap RCM harus dibaca/disensor secara perorangan dan dicap “dibaca” bagi RCM yang isinya memenuhi kriteria.
• Berita yang tidak memenuhi kriteria dicoret sampai tidak terbaca dan diberi paraf oleh yang membaca
• Jika semua isinya tidak memenuhi kriteria, RCM tandai dengan “tidak memenuhi kriteria hanya berita keluarga” dan kembalikan kepada pengirim disertai formulir RCM baru.

RCM YANG TIDAK DAPAT DISAMPAIKAN

Adakalanya RCM tidak dapat disampaikan kepada penerima dengan alasan;
• Alamat tidak benar/tidak lengkap
• Sialamat/penerima tidak dikenal di alamat yang tertera pada RCM
• Penerima tidak mau menerima RCM karena sesuatu hal
RCM tersebut harus segera dikembalikan kepada penerima melalui PMI yang mengirim RCM tersebut dengan salah satu alasan tersebut diatas.

VII. PERMOHONAN PENCARIAN

Salah satu akibat yang paling tragis dari perang dan bencana adalah perpisahan keluarga dan kehilangan orang-orang yang dikasihi. Orang-orang tidak mempunyai tempat, mereka meninggalkan rumah, desa dan negara mereka, mereka ditahan dan sebagian dibunuh. Pencarian terhadap keluarga bisa berlangsung sampai bertahun-tahun, lamanya setelah berakhirnya konflik dan bencana. HPI mengetahui lebih jelas hak para keluarga untuk mengetahui nasib orang-orang yang dikasihi (lihat bagian “Hukum Perikemanusiaan Internasional dan bagian “Mandat Hukum untuk Pemulihan Hubungan Keluarga”)

Apa Itu Permohonan Tracing?

Permohonan tracing Palang Merah adalah sebuah permohonan yang dibuat mengenai keberadaan seseorang yang dinyatakan hilang. Suatu permohonan pencarian dapat dimulai bilamana semua cara/metode dalam pemulihan hubungan keluarga dinyatakan tidak berhasil , sebagai contoh, ketika sebuah RCM tidak dapat disampaikan dan telah dikembalikan. Permohonan pencarian dapat dibuat dalam situasi konflik, bencana atau kebutuhan kemanusiaan lainnya.
Kriteria untuk Permohonan Pencarian
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan ketika menentukan apakah sebuah permohonan pencarian dapat dimulai:

• Apakah ada hubungan antara pemohon dan orang yang dicari?
• Alasan perpisahan antara pemohon dan orang yang dicari?
• Apakah mempunyai alamat terakhir orang yang dicari?
• Sudah pernah berusaha dengan cara lain?
• Apakah mempunyai informasi yang cukup untuk memulai permohonan pencarian?

Apakah ada hubungan antara pemohon dan orang yang dicari?
PMI akan menyetujui sebuah permohonan pencarian berdasarkan hubungan keluarga, sebagai berikut:
• Keluarga dekat (ayah, ibu, suami/istri, anak-anak kandung, saudara kandung dan sepupu)
• Bilamana pemohon dan orang yang dicari bukan keluarga dekat, kasusnya dapat disetujui atas dasar “kemanusiaan”
• Dengan mengetahui hubungan keluarga antara pemohon dan orang yang dicari akan membantu orang yang dicari untuk mengetahui siapa si pemohon.

Alasan perpisahan antara pemohon dan orang yang dicari?
PMI akan menyetujui permohonan pencarian dengan alasan perpisahan yang diakibatkan oleh:
• Perang, konflik, bencana atau alasan kemanusiaan lainnya (seperti perpindahan penduduk besar-besaran)
• Bilamana seseorang dapat diyakinkan bahwa ia telah ditangkap, diculik atau dedeportasi.
Tracing tidak dapat dimulai bilamana perpisahan dikarena perselisihan keluarga, atau orang dinyatakan hilang di luar konflik atau situasi bencana (masalah orang hilang dalam situasi seperti ini adalah urusan polisi)

Apakah mempunyai alamat terakhir orang yang dicari?
• Pencarian tidak dapat dimulai kecuali ada alamat terakhir dari orang yang dicari
(harus suatu tempat dimana Perhimpunan Nasional atau ICRC dapat memulai pencarian)
• Bilamana tidak mempunyai alamat terakhir, suatu alamat alternatif dari teman atau keluarga dari orang yang dicari harus disediakan, diutamakan seseorang yang terakhir berhubungan dengan orang yang dicari
• Untuk pencarian seseorang dengan latar belakang militer dapat mencantumkan nama kesatuan, pangkat terakhir, NRP dan tugas terakhir kapan dan dimana

Telah melakukan berbagai usaha dalam pemulihan hubungan keluarga?
• Permohonan pencarian hanya dapat dimulai bilamana metode lainnya untuk memulihkan kontak telah terbukti gagal, sebagai contoh, setelah sebuah RCM dikembalikan kepada pengirim, atau alamat terkini dari orang yang dicari tidak diketahui
• Pemohon harus menunjukan bahwa semua usaha pribadi untuk mendapatkan orang yang dicari telah terbukti gagal, sebagai contoh, mengirim surat kepada alamat terakhir atau menghubungi seorang teman atau tetangga (bila memungkinkan)

Apakah mempunyai informasi yang cukup untuk memulai permohonan pencarian?
Makin banyak rincian informasi yang diberikan oleh pencari mengenai orang yang dicari dan keadaan yang menyebabkan perpisahan akan makin membantu keberhasilan dalam pencarian.

Atas Dasar Kemanusiaan
Jikalau Permohonan Pencarian tidak memenuhi salah satu kriteria (perpisahan bukan akibat konflik/bencana), kasus tersebut dapat diakses atas dasar kemanusiaan. Dasar Kemanusiaan adalah apabila :

• Kasus tersebut berada pada tingkat yang membutuhkan bantuan Palang Merah seperti, urusan kesehatan, seperti, seseorang dalam keadaan emergensi.
• Orang tersebut adalah hanya satu-satunya keluarga yang masih ada.
• Faktor pemukiman kembali dalam skala besar yang menyababkan kehilangan kontak atau komunikasi
• Pemohon telah berusaha dengan berbagai cara pencarian
• Ada informasi yang cukup untuk menyetujui kasus tersebut

Seperti kriteria tracing, sangat penting bahwa setiap permohonan tracing dapat diakses atas dasar individu terhadap “dasar kemanusiaan”. Bilamana sebuah permohonan disetujui atas dasar-dasar tersebut, adalah sangat penting bahwa untuk dipertimbangkan kepekaan khusus dalam kasus tersebut.
Contoh: Kehilangan kontak karena kasus adopsi.
Usaha Pencarian
PMI Daerah dan Cabang yang menerima sebuah permohonan pencarian harus mempergunakan sumber-sumber seperti yang tercatat dibawah ini dalam usaha untuk mendapatkan orang yang dicari. Pencarian dapat dilakukan melalui;

• Mendatangi alamat terakhir (rumah atau perusahaan)
• Menghubungi tetangga atau keluarga
• Menghubungi para kepala suku
• Menghubungi pemimpin agama
• Menghubungi para penguasa pemerintah yabg berwenang (seperti kantor catatan kelahiran, kematian dan pernikahan)
• Menghubungi para utusan dari organisasi non-pemerintah baik internasional maupun lokal (seperti; UNHCR bagi seseorang yang dicari yang diketahui sedang meminta suaka)
• Media (seperti; surat khabar dan radio)
Media
Pencarian dapat mengunakan media setempat untuk membantu kegiatan TMS. Media dapat digunakan sebagai:
• Suatu usaha pencarian untuk menemukan orang yang dicari
• Sebuah alat diseminasi TMS dalam usahanya untuk mencapai target masyarakat di dalam komunitas yang dapat mengambil keuntungan dalam kegiatan ini.

Pemohon harus secara spesifik memberi ijin kepada TMS PMI tentang apakah pencarian dapat disiarkan media. Di bagian 8 dalam Formulir Permohonan Tracing PMI pemohon diminta untuk melengkapi : “saya setuju/tidak setuju permohonan tracing ini dapat disiarkan di media massa”.
Masalah Keamanan
Sangat penting bahwa nama dan alamat pencari tidak dapat disebarkan di luar jaringan Palang Merah selama proses tracing berlangsung. Nama dan alamat pencari hanya diperbolehkan untuk disampaikan kepada orang yang dicari bilamana identifikasi mereka telah secara positif diteliti.
Prioritas untuk Permohonan Pencarian
Prioritas harus diberikan kepada kasus dimana:
• Keselamatan dan kesehatan orang yang dicari dalam keadaan bahaya
• Orang yang dicari dianggap orang rentan;
- Anak-anak yang terpisah dari orangtua (anak-anak yang sendirian tidak
dibawah lindungan orang dewasa)
- Orang-orang cacat
- Orang-orang tua
Meneliti Identitas Orang Yang Dicari
Adalah penting bahwa identitas orang yang dicari diverifikasi sebelum informasi mengenai pemohon disampaikan. Jalan terbaik untuk meneliti identitas orang yang dicari adalah membuat pemeriksaan silang mengenai identitas pribadi, seperti tanggal lahir, nama ibu dan nama ayah.
Kasus Dimana Orang Yang Dicari Diketemukan
Dalam kasus dimana orang yang dicari diketemukan hidup, langkah-langkah berikut ini harus diikuti (setelah identitas orang dicari telah diverifikasi secara terperinci seperti diatas):
 Memberitahu kepada orang yang dicari bahwa dia adalah subyek dari pencarian
 Memberitahu identitas pemohon
 Tanyakan kepada orang yang dicari apakah mereka mengijinkan alamatnya untuk disampaikan kepada pemohon
 Jikalau orang yang dicari tidak mengijinkan data-data tentang dirinya disampaikan kepada pemohon, orang yang dicari agar ditanyakan alasan apa yang harus disampaikan kepada pemohon, seperti:
- Orang yang dicari tidak mau berhubungan dengan pemohon
- Orang yang dicari akan menghubungi pemohon
Apapun keputusan orang yang dicari harus selalu dihormati.

Dalam kasus dimana orang yang dicari telah meninggal dunia, pemohon harus segera diberitahu mengenai prosedur-prosedur yang dapat dilakukan untuk mengambil sebuah surat kematian di Indonesia. Laporan tidak resmi tentang kematian orang yang dicari tidak dapat disampaikan kepada pencari kecuali ada bukti cukup dari sumber yang dapat dipercaya yang dapat membuktikan.

Kasus Dimana Orang Yang Dicari Tidak Dapat Diketemukan
Bilamana orang yang dicari tidak ditemukan berita harus diteruskan kepada pemohon.


VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

Menentramkan hati, menyampaikan berita, menjalin kembali komunikasi antara anggota keluarga yang tercerai berai, itulah yang menjadi tugas bagian tracing Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di seluruh dunia, sejak seabad lebih.

Lazimnya, pekerjaan Palang Merah tentunya dapat dilaksanakan secara efisien dan cepat berkat jaringan kerja yang diciptakan dengan melibatkan semua jajaran palang merah dan bulan sabit merah (PMI Pusat, PMI Daerah, PMI Cabang) menyadari sepenuhnya akan tanggungjawab di bidang ini dan melaksanakan tugas yang terkait sebaik mungkin.

Apapun kasus yang ditanganinya, pihak staf dan relawan Palang Merah dalam menjalankan tugasnya harus mempunyai tiga syarat kerja; kesabaran, ketekunan dan ketepatan.

IX. LAMPIRAN FORMULIR-FORMULIR TMS.

1. Formulir Berita Palang Merah/RCM
2. Formulir Permohonan Pencarian
3. Formulir Permohonan Pencarian dalam Bencana

Kebersamaan (ngaliwet rutin)

Minggu, 18 April 2010

MANAJEMEN PMR

PENGERTIAN
Manajemen PMR merupakan proses pembinaan dan pengembangan anggota remaja PMI agar dapat mendukung peningkatan kapasitas organisasi dan pelayanan PMI

TUJUAN :

Membangun dan mengembangkan karakter PMR yang berpedoman pada Prinsip Kepalangmerahan untuk menjadi relawan masa depan
Melaksankan Tri Bakti PMRTri PMR

Meningkatkan keterampilan hidup sehat --> Bersih, Sehat

Berkarya dan Berbakti di Masyarakat ==>Kepemimpinan,peduli,kreatif,kerjasama

Mempererat persahabatan nasional dan internasional ==> Bersahabat, ceria

Palang Merah Remaja (PMR) adalah wadah pembinaan dan pengembangan anggota
remaja PMI, yang selanjutnya disebut PMR.Terdapat di PMI cabang diseluruh
Indonesia, dengan anggota lebih dari 3 juta orang, anggota PMR merupakan salah
satu kekuatan PMI dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan kemanusiaan dibidang
kesehatan dan siaga bencana, mempromosikan Prinsip-Prinsip Dasar Gerakan
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, serta mengembangkan
kapasitas organisasi PMI.

PALANG MERAH REMAJA
Kebijakan PMI dan Federasi tentang Remaja bahwa :
- Remaja merupakan prioritas pembinaan, baik dalam keanggotaan maupun kegiatan
kepalangmerahan
- Remaja berperan penting dalam pengembangan kegiatan kepalangmerahan
- Remaja berperan penting dalam: perencanaan,pelaksanaan kegiatan, dan proses
pengambilan keputusan untuk kegiatan PMI
- Remaja adalah kader relawan
- Remaja calon pemimpin Palang Merah masa depan

Perekrutan adalah peningkatan jumlah anggota dan kelompok PMR. Melalui proses promosi, pendaftaran, dan wawancara, maka perekrutan memberitahukan remaja bahwa
dengan bergabung dengan PMI, mereka dapat melakukan sesuatu yang memang mereka ingin lakukan

Perekrutan dilakukan minimal setahun sekali pada bulan Juli – Agustus, sebagai Bulan Perekrutan Nasional sekaligus memperingati Hari Remaja Internasional dan Hari PMR
(12 Agustus)

PROSES PEREKRUTAN :
1. Promosi
Kreatif menggali ide untuk menarik minat sebanyak mungkin remaja bergabung dengan PMI. Siapa sasaran promosi (remaja, orang tua, sekolah, diknas, instansi, dll.)? Mengapa remaja tertarik dengan PMI? Dimana dan kapan PMI akan melakukan perekrutan? Bagaimana PMI membuat media dan melakukan promosi? Pertanyaan-pertanyaan sederhana mengawali perencanaan dan pelaksanaan promosi perekrutan.

2. Kontak personal
Merekrut anggota PMR melalui orang-orang yang telah kita kenal, misal staf, relawan, tetangga, teman, bahkan mereka yang telah menjadi anggota PMR. Ajaklah mereka merekrut remaja bergabung dengan PMI. Jadikanlah mereka sebagai orang-orang yang bisa dihubungi oleh Media massa, Televisi, radio, koran, dan masih banyak lagi jenisnya. Bekerjasamalah dengan media massa untuk memuat iklan, cerita, atau berita yang menarik minat remaja untuk bergabung dengan PMI. Tentu saja media massa dengan
sasaran remaja merupakan prioritas, dan cara ini dilakukan secara berkala, misal seminggu sekali, sebulan sekali. Lebih sering pemuatan berita, masyarakat akan semakin tahu dan tertarik. Berpromosilah setiap saat, jangan hanya sesaat atau menjelang perekrutan.

3. Publikasi
Publikasi sirkulasi khusus Majalah atau tabloid milik PMI, sekolah, maupun
instansi. Secara rutin kirimkan artikel, foto, press release tentang kegiatan PMI dan apa yang telah dilakukan anggota PMR.

4. Surat
Selebaran, surat dapat menjadi alternatif promosi.

5. Teknologi modern
Website, email, mailing list dapat digunakan sebagai cara promosi

6. Presentasi
Siapa yang paling tahu kondisi dan kebutuhan remaja disuatu lingkungan? Berbicaralah dengan pihak-pihak pengambil kebijakan (misal: kepala dinas pendidikan, departemen agama, pemuka agama dan masyarakat, pimpinan sekolah, serta mereka yang mempunyai hubungan terdekat dengan remaja misal guru, orang tua, dan sesama remaja. Mintalah waktu kepada sekolah, dinas pendidikan, kelompok masyarakat, pada saat pertemuan orang tua siswa, pertemuan kelompok-kelompok remaja, MOS (Masa Orientasi Siswa) untuk
mempresentasikan kegiatan PMI, termasuk apa peran anggota PMR, manfaat apa yang didapat jika bergabung dengan PMI, dan bagaimana PMI memberikan penghargaan dan pengakuan terhadap kerelawanan mereka.

7. Pameran
PMI dapat menyelenggarakan pameran, atau bergabung dengan acara pameran yang diselenggarakan oleh pihak lain. Berkreasilah agar pengunjung pameran tertarik
dan kemudian mau bergabung menjadi anggota PMR. Pemutaran film, majalah dinding, pementasan drama atau seni, poster, leaflet, foto, banner sangat mendukung penyampaian pesan.
8. Kegiatan Kepalangmerahan
Anggota PMR mengadakan kegiatan kepalangmerahan dengan melibatkan remaja atau sekolah yang belum mempunyai PMR sehingga menarik minat mereka untuk bergabung menjadi anggota PMR. Proses ini merupakan peran PMR dalam membantu PMI Cabang melakukan promosi, publikasi, dan advokasi

Perekrutan unit PMR
èUnit PMR adalah sekolah, instansi, kelompok remaja yang
bersedia membentuk PMR
èPimpinan sekolah, instansi, kelompok remaja mengajukan
surat permohonan pembentukan unit PMR kepada PMI
Cabang
èPMI Cabang mengesahkan unit PMR setelah seluruh
persyaratan pembentukan unit PMR terpenuhi:
§ mempunyai jumlah calon anggota minimal 7 orang
§ mengirimkan surat pembentukan unit PMR
§ mengisi formulir pendaftaran pembentukan unit PMR
§ mempunyai penanggung jawab unit PMR
§ mempunyai pembina unit PMR, selanjutnya disebut pembina PMR
§ mempunyai struktur PMR
è PMI Cabang memberikan nomor unit PMR
è Pemberian nama unit PMR sekolah sesuai dengan nama sekolah, sedangkan diluar
sekolah diambil dari nama desa/kecamatan/organisasi remaja tersebut

Perekrutan anggota PMR
- Anggota PMR adalah remaja yang mendaftarkan sebagai anggota remaja PMI.
- Calon anggota PMR mengisi dan mengumpulkan kembali formulir pendaftaran kepada
pihak sekolah, instansi, atau kelompok remaja masing-masing
- Syarat pendaftaran calon anggota baru PMR §memenuhi syarat keanggotaan :
1. mengisi formulir pendaftaran calon anggota PMR
2. mengumpukan foto 2 x 3 sebanyak 4 lembar, untuk formulir pendaftaran, buku induk
unit PMR, buku sistem pendataan PMI Cabang, dan KTA (Kartu Tanda Anggota)
- Pembina PMR bersama dengan PMI Cabang melakukan pendataan
- Calon anggota PMR mengikuti orientasi kepalangmerahan berdurasi 4 x 45 menit
dengan materi pengenalan PMI dan pengenalan PMR
- Pelantikan anggota PMR dilaksanakan oleh PMI Cabang
- Anggota PMR melaksanakan hak dan kewajiban:

* Hak :
- mendapatkan KTA
- mendapatkan pembinaan dan pengembangan dari PMI
- menyampaikan pendapat dalam forum pertemuan PMI melalui kegiatan atau rapat PMI
- mendapatkan pengakuan dan penghargaan berdasarkan prestasi

* Kewajiban :
- membayar iuran keanggotaan
- melaksanakan Tri Bakti PMR
- menjalankan dan membantu menyebarluaskan Prinsip-Prinsip Dasar Gerakan Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional
- mematuhi AD/ART PMI
- menjaga nama baik dan kehormatan PMI

Meteri Pelatihan PMR :

1. Gerakan
Sejarah, Lambang, kegiatan kepalngmerahan ,penyebarluasan 7 prinsip
2. Kepemimpinan
Bekerja sama, berkomunikasi, bersahabat,menjadi pendidik sebaya, memberikan
dukungan, menjadi contoh perilaku hidup sehat
3. Pertolongan Pertama
Menghubungi dokter/rumah sakit, melakukan pertolongan pertama di sekolah dan
rumah,menolong diri sendiri
4. Sanitasi dan Kesehatan
Merawat keluarga yang sakit dirumah, perilaku hidup sehat, kebersihan diri dan
lingkungan
5. Kesehatan Remaja
Kesehatan reproduksi, Napza, HIV/AIDS
6. Kesiapsiagaan Bencana
Jenis bencana, cara-cara pencegahan, mempersiapkan diri, teman, dan keluarga
menghadapi bencana
7. Donor Darah
Kampanye donor darah, merekrut donor darah remaja, mempersiapkan diri menjadi
pedonor, mengadakan kegiatan donor darah pada saat wabah demam berdarah atau
setelah kejadian bencana

PROSES PELATIHAN
Hubungi PMI Cabang untuk standarisasi Pelatihan, Kebutuhan Pelatihan dan Fasilitator
Pelatih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan Fasilitator memfasilitasi anggota PMR memahami serta menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka pelajari
Menguatkan karakter (kualitas positif) anggota PMR untuk meningkatkan ketrampilan
hidup sehat dan menjadi calon relawan, anggota PMR tidak hanya tahu dan trampil,
tetapi juga perlu memahami dan menerapkan yang telah mereka pelajari, dalam proses pelatihan. Proses pelatihan dapat dilakukan oleh PMI Cabang maupun Unit PMR, sesuai
kurikulum yang telah ditetapkan. Waktu pelaksanaan menyesuaikan dengan kalender
pendidikan, berintegrasi dengan kegiatan-kegiatan tertentu, maupun waktu-waktu yang telah disepakati bersama antara PMI Cabang, fasilitator/pelatih, dan anggota PMR.
Pada awal pelatihan seluruh anggota PMR akan mendapatkan informasi mengenai cakupan materi dan tujuan yang akan dicapai. Pada tahap ini pelatih maupun fasilitator mengidentifikasi anggota yang baru pertama bergabung dengan PMR, dan anggota yang melanjutkan keanggotaannya (misalnya dari anggota PMR Mula melanjutkan ke PMR Madya). Anggota yang baru bergabung akan mengikuti proses pelatihan sejak awal, sedangkan yang melanjutkan keanggotaannya maka dapat dilibatkan sebagai asisten untuk membantu teman-temannya memahami materi. Suatu sistem penghargaan, pengakuan, pemantauan, dan evaluasi tingkat pengetahuan, keterampilan, pemahaman, dan sikap dirancang dalam bentuk SyaratKecakapan PMR.

Hubungi PMI Cabang untuk standarisasi Pelatihan, Kebutuhan Pelatihan dan Fasilitator

Pelatih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan Fasilitator memfasilitasi anggota PMR memahami serta menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka pelajari

Belajar yang Menyenangkan (Fun Learning)
Proses belajar dan kegiatan menjadi aktivitas kehidupan rill, yang dihayati dengan penuh kegembiraan. Itu membantu anggota PMR menikmati kegiatan dan membangun imaji tentang apa dan bagaimana seharusnya menjadi seorang anggota PMR.

Belajar dari Pengalaman (Learning by doing)
Untuk menjadi lebih paham dan mengerti, anggota PMR hanya perlu difasilitasi dalam
mempelajari sesuatu. Biar mereka mengamati, mengalami, merasakan dan memahami berbagai macam perbedaan. Biar mereka yang merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi hasil kerja mereka.

Jaring Laba-laba (Spider Web )
Setiap materi dan kegiatan saling terkait. Ketika belajar siaga banjir,
maka akan belajar juga tentang Pertolongan Pertama pada luka atau sakit akibat banjir (diare, demam, akibat terbentur benda keras, luka lecet), sanitasi dan air bersih, bagaimana menerapkan 7 Prinsip dan kepemimpinan jika memberikan
pertolongan, cara-cara menyelenggarakan aksi donor darah untuk korban banjir, belajar kandungan gizi yang tepat jika akan menyumbang bahan makanan,
bagaimana menyelenggarakan acara-acara untuk menghibur remaja dan anak korban bencana.

Pengakuan dan penghargaan bertujuan:
¦memotivasi PMR agar tetap bersama dengan PMI,
¦memberikan rasa bangga dan kesadaran akan kualitasnya bahwa meskipun masih remaja
mereka dapat berperan untuk kemanusiaan
¦meningkatkan kepercayaan diri dan komitmen
¦meningkatkan kualitas kegiatan kepalangmerahan

Salah satu cara penghargaan dan pengakuan yang mudah, murah, tapi dapat dilakukan
setiap saat adalah ucapan “terima kasih” . Hal yang wajar dan penting u n t u k me n g h a r g a i d a n mengakui atas apa yang telah mereka berikan untuk PMI karena mereka adalah milik kita yang berharga.

MENGAKUI DAN MENGHARGAI, MAUKAH KITA?
A. INFORMAL :
Peranan pengurus, staf, pembina PMR, pelatih, dan fasilitator sangatlah penting dalam menyampaikan penghargaan dan pengakuan atas peran dan kegiatan PMR. Hal ini akan memberikan dampak yang besar dan sangat efektif karena kita bagian dari markas PMI dan yang berinteraksi dengan PMR.
Undangan dialog dan makan malam setahun sekali akan memberikan dampak yang berbeda. Beberapa cara penghargaan dan pengakuan secara informal:
Ucapan “terima kasih, yang disampaikan kepada anggota PMR, keluarga,
atau sekolahnya
(^_^)(^_^)(^_^) saat mereka datang
Memperkenalkan dengan pengurus PMI maupun staf lainnya
Melibatkan anggota PMR dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi kualitas hidup mereka
Menanyakan kabar keluarga, sekolah, hasil ujian, cita-cita mereka
Menununjukkan ketertarikan pada hal-hal diluar PMI yang ingin mereka bicarakan
Meyakinkan anggota PMR bahwa mereka akan mendapatkan informasi yang
mereka inginkan
Mengijinkan mereka mengembangkan kualitasnya Dengarkan, dengarkan mereka
Tanyakan Ide, pendapat mereka Berikan pujian, tidak hanya tentang hasil kegiatan mereka di PMI, tetapi juga sikapnya yang positif, prestasi sekolah yang mengalami peningkatan Mengirimkan ucapan terima kasih, penghargaan, kepada keluarga anggota PMR, atau sekolahnya
Mengirimkan ucapan selamat ulang tahun atau hari besar agama kepada anggota
PMR, atau merayakan ulang tahun mereka di PMI Olah raga bersama
Mengunjungi mereka saat mengadakan kegiatan
Memberikan kartu ucapan selamat bergabung di PMI

B. FORMAL

Hadiah, sertifikat, plakat, pin, uji syarat kecakapan, upacara di PMI atau Pemerintahan lokal, mengikutsertakan anggota PMR untuk pertukaran remaja dan
konferensi, merekomendasikan untuk terlibat dalam kegiatan dengan tanggungjawab yang
lebih besar, mengirimkan profil dan apa yang telah mereka lakukan untuk tugas-tugas
kemanusiaan ke majalah remaja, koran harian lokal, atau acaraacara khusus untuk penghargaan dan pengakuan anggota PMR merupakan cara formal yang dapat dilakukan.


PEMANTAUAN DAN EVALUASI

PMI harus mengetahui apakah anggota PMR telah melaksanakan hak dan kewajibanya dengan tepat, sedangkan anggota PMR juga perlu mengetahui apakah mereka telah melaksanakan tugas dengan baik. Pemantauan dan evaluasi adalah proses berkelanjutan dan melekat dikeseluruhan siklus.

Memerlukan waktu untuk memantau bagaimana mereka melakukan kegiatan, apa yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan menjawab kebutuhan mereka, merupakan sebagian dari tahapan pemantauan dan evaluasi, yang jika tidak dilakukan menunjukkan ketidakpedulian PMI terhadap kualitas anggota, kegiatan, dan Tri Bakti yang sedang dan telah dilakukan.

PANDUAN SINGKAT PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Tujuan
Mengukur pencapaian dalam proses pembinaan dan pengembangan PMR, sehingga
menghasilkan usulan untuk perubahan atau perbaikan. Dibawah ini panduan
singkat dalam proses monitoring dan evaluasi.
Aspek pemantauan dan evaluasi
1. Perekrutan
·Perencanaan proses perekrutan
·Peran PMR dan relawan dalam proses perekrutan
·Pencapaian target perekrutan
2. Pelatihan
·Pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan perilaku anggota PMR melalui proses
penilaian syarat kecakapan
·Hasil evaluasi pelatihan
·Bagaimana pelaksanaan standarisasi pelatihan
3. Peningkatan keterlibatan anggota PMR dalam Tri Bakti
·Ketersediaan pendataan tentang jenis kegiatan, jenis keterlibatan, dan
durasi keterlibatan anggota PMR dalam Tri Bakti
·Keseimbangan gender dalam pelaksanaan Tri Bakti
4. Peningkatan keterlibatan anggota PMR dalam proses pengambilan keputusan
·Jumlah anggota PMR yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan
(dalam forum rapat, diskusi-diskusi, lokakarya, penyusunan buku, dll)
·Pelatihan kepemimpinan untuk anggota PMR
·Ada dan berfungsinya Forpis
5. Pendataan
·Pendataan tentang nama, alamat, jenis ketrampilan, ketersediaan waktu
di PMI
·Ketersediaan pendataan tentang jenis kegiatan, jenis keterlibatan, dan
durasi keterlibatan anggota PMR dalam Tri Bakti
6. Jejaring dan kerjasama
·Jejaring dan kerjasama antar sekolah/cabang/daerah

PEDOMAN MANAJEMEN RELAWAN (KSR-TSR)
Edisi I, Jakarta: Oktober 2008
Hak cipta © Palang Merah Indonesia

latgab PBT

Apakah HIV/ AIDS itu ?

Kita akan membicarakan tentang HIV/ AIDS, penyakit yang sedang mengancam peradaban manusia.AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penurunan kekebalan tubuh, sehingga tubuh rentan terhadap penyakit lain yang mematikan. AIDS disebabkan oleh Virus (Jasad Sub Renik) yang disebut dengan HIV. sedangkan HIV (Human Immunodeficiency Virus) itu sendiri adalah Virus yang menyerang sistim Kekebalan tubuh manusia yang menyebabkan timbulnya AIDS.

Orang yang terinfeksi oleh Virus ini tidak dapat mengatasi serbuan infeksi penyakit lain karena system kekebalan tubuhnya menurun atau hilangnya daya tahan tubuh Sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi terus secara drastis

Siapa sajakah yang dapat mengidap HIV/AIDS ?

Setiap orang, laki-laki atau perempuan, tua maupun muda dari negara manapun juga, agama manapun juga, dapat mengidap HIV. Jadi HIV dan AIDS tidak terbatas pada sekelompok orang, kelamin atau jabatan tertentu

Bagaimana HIV, melemahkan system kekebalan tubuh manusia?

Sasaran penyerangan HIV adalah Sistem Kekebalan Tubuh, terutama adalah sel-sel Limfosit T4. Selama terinfeksi, limfosit menjadi wahana pengembangbiakan virus. Bila sel-sel Limfosit T4 -nya mati, Virus akan dengan bebas menyerang sel-sel Limfosit T4 lainnya yang masih sehat. Akibatnya, daya tahan tubuh menurun.

Akhirnya sistem kekebalan tak mampu melindungi tubuh, sehingga kuman penyakit infeksi lain (kadang disebut Infeksi Oportunistik / Infeksi Mumpung) akan masuk dan menyerang tubuh orang tersebut. Bahkan kuman-kuman lain yang jinak tiba-tiba menjadi ganas. Kumannya bisa Virus lain, Bakteri, Mikroba, Jamur, maupun Mikroorganisme patogen lainnya. Penderita bisa meninggal karena TBC, Diare, Kanker kulit, Infeksi Jamur, dll.

Bila seseorang telah seropositif terhadap HIV, maka dalam tubuhnya telah mengandung HIV. Dalam jumlah besar HIV terdapat dalam darah, cairan vagina, air mani serta produk darah lainnya. Apabila sedikit darah atau cairan tubuh lain dari pengidap HIV berpindah secara langsung ke tubuh orang lain yang sehat, maka ada kemungkinan orang lain tersebut tertular AIDS. Cara penularan yang paling umum ialah: senggama, transfusi darah, jarum suntik dan kehamilan. Penularan lewat produk darah lain, seperti ludah, kotoran, keringat, dll. secara teoritis mungkin bisa terjadi, namun resikonya sangat kecil.


Dengan demikian cara-cara penularannya adalah sebagai berikut :

•Penularan lewat senggama :
Pemindahan yang paling umum dan paling sering terjadi ialah melalui senggama, dimana HIV dipindahkan melalui cairan sperma atau cairan vagina. Adanya luka pada pihak penerima akan memperbesar kemungkinan penularan. Itulah sebabnya pelaku senggama yang tidak wajar (lewat dubur terutama), yang cenderung lebih mudah menimbulkan luka, memiliki kemungkinan lebih besar untuk tertular HIV.

•Penularan lewat transfusi darah :
Jika darah yang ditranfusikan telah terinfeksi oleh HIV , maka virus HIV akan ditularkan kepada orang yang menerima darah, sehingga orang itupun akan terinfeksi virus HIV. Risiko penularan melalui transfusi darah ini hampir 100 %.

•Penularan lewat jarum suntik :
Model penularan lain secara teoritis dapat terjadi antara lain melalui :
- Penggunaan akupunktur (tusuk jarum), tatoo, tindikan.
- Penggunaan alat suntik atau injeksi yang tidak steril, sering dipakai oleh para pengguna narkoba suntikan, juga suntikan oleh petugas kesehatan liar.

• Penularan lewat kehamilan :
Jika ibu hamil yang dalam tubuhnya terinfeksi HIV , maka HIV dapat menular ke janin yang dikandungnya melalui darah dengan melewati plasenta. Risiko penularan Ibu hamil ke janin yang dikandungnya berkisar 20% - 40%. Risiko ini mungkin lebih besar kalau ibu telah menderita kesakitan AIDS (full blown).

Bagaimana melindungi diri dari penularan AIDS ?

Kita semua, khususnya remaja harus “melindungi diri “ dari AIDS. Karena kalau seorang remaja tertular HIV, maka keseluruhan cita-cita dan masa depan remaja tersebut hancur lebur. Secara mudah, perlindungan dari AIDS dilakukan dengan cara ‘ABC’, ialah:

• [A] : Abstinence) alias PUASA bagi remaja yang belum menikah. Jangan dekat-dekat senggama. Jauhkan diri dari zina. Onani atau masturbasi, merangsang diri sendiri sehingga puas (orgasmus) sebenarnya kurang baik. Namun resikonya paling kecil. Jadi dalam keadaan yang benar-benar tidak kuasa menahan diri dan tidak mampu berpuasa, onani dapat dijadikan jalan keluar. Asal jangan menjadi kebiasaan. Jangan terlalu sering.

• [B] : Be Faithful alias Setia Pasangan Hidup bagi mereka yang sudah menikah. Hanya bersenggama dengan pasangan setianya. Sebagian besar satu suami dengan satu istri. Dalam keadaan khusus satu suami dengan 2-4 istri, namun yang penting kesetiaan dari semua fihak, baik istri maupun suami. Di sinipun, bila suami istri berpisah dalam waktu lama, onani merupakan jalan keluar sementara yang paling tidak beresiko.

• [C] Condom alias Kondom bagi mereka yang berada dalam keadaan-keadaan khusus, antara lain ialah para suami atau remaja yang tidak kuat puasa atau setia (atau onani), dan masih terdorong melakukan zina. Pemakaian kondom akan melindungi mereka dari penularan PHS dan AIDS, dan melindungi istri atau pacar mereka dari penularan penyakit. Bagi para pelacur, patut ditumbuhkan motivasi memakaikan kondom pada pasangan kencan mereka.

Dalam keadaan darurat, misalnya pasangan suami-istri di mana salah satu menderita PHS, juga AIDS, pemakaian kondom amat dianjurkan untuk mencegah penularan AIDS lebih lanjut kepada pasangannya. Yang penting dalam pemakaian kondom ialah (sambil dipraktekkan) melindungi keseluruhan penis dan dipakai sepanjang proses senggama untuk menghindari sentuhan antara penis dan vagina.

Tambahan perlindungan yang sangat penting ialah:

• Hindari transfusi, dengan selalu berhati-hati. Bila terpaksa ditransfusi, yakinkan bahwa darah yang ditransfusi adalah darah yang telah diperiksa oleh Unit Kesehatan Transfusi Darah (UKTD) PMI sebagai darah bebas HIV (juga bebas hepatitis, malaria dan sifilis).
• Hindari suntik-menyuntik. Sebagian besar obat sama atau lebih efektif diminum daripada disuntikkan. Bila terpaksa disuntik, yakinkah jarum dan tabung suntiknya baru dan belum dipakai untuk orang lain.
• Berhati-hatilah dalam menolong orang luka dan berdarah. Gunakan prosedur P3K yang baku dan aman.
• Bila ada sesuatu tanda atau gejala yang meragukan, secepatnya periksa ke dokter.

Mengetahui Kesehatan Reproduksi

Tuhan menciptakan Pria dan wanita dengan kelamin yang berbeda, tidak lain adalah untuk melaksanakan tugas reproduksi. Dalam tugas reproduksi ini dalam rangka memelihara kelangsungan hidup manusia di bumi untuk membawa rahmat dan kesejahteraan. Oleh karena itu, menjadi kewajiban kita untuk memelihara dan menjaga kesehatan alat reproduksi kita masing-masing.

Fungsi Reproduksi :

Reproduksi merupakan kemampuan seseorang yang berfungsi untuk berketurunan sebagai bagian dari upaya pelestarian kehidupan manusia sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Untuk tujuan mulia itu manusia diberi alat-alat reproduksi.

Bagaimanakah alat dan fungsi Reproduksi pada Pria ?

Alat reproduksi pria terdiri atas bagian dalam maupun bagian luar. Alat reproduksi bagian luar terdiri atas : (1). Buah zakar (Penis) dan (2). Skrotum (Kantung buah pelir). Sedangkan alat reproduksi bagian dalam terdiri atas : (3). Sepasang Buah Pelir (Testis), (4). Saluran reproduksi (Vas Deferens), (5). Kelenjar kelamin, (6). Saluran kemih penis (Uretra Penis). Uretra Penis merupakan saluran kemih sekaligus saluran ejakulasi berupa muara terusan dari Saluran Reproduksi (Vas Deferens), (7). Kandung Kemih (Vesika Urinaria), Kandung Mani (Vesika Seminalis). Pertemuan muara saluran tersebut tepat pada sekitar daerah Kelenjar Postrat. Buah pelir (Biji kemaluan) ini berfungsi untuk mengha¬silkan sel kelamin pria (sperma) dan hormon testosteron. Kelenjar kelamin menghasilkan getah kelamin. Sperma dan getah kelamin tersebut dinamakan Air Mani yang disimpan dalam kan¬tung mani dan dipancarkan keluar melalui uretra penis (saluran kemih di penis).


Bagaimanakah alat dan fungsi Reproduksi pada Wanita?

Alat dan fungsi reproduksi wanita terdiri atas bagian dalam dan bagian luar. Alat reproduksi bagian luar terdiri atas : (1). Celah Luar (Vulva), (2). Sepasang Bibir Besar (Labium Mayora) dan (3). Bibir Kecil (Labium Minora) yang terdapat disebelah kanan kiri Vulva. Di sebelah dalam dari Vulva terdapat (4). Kelentit (Clito¬ris), semacam Penis pada pria yang tumbuh mengecil, namun sangat peka karena penuh urat syaraf. Ke Vulva ini bermuara dua saluran, yaitu (5). Saluran Kemih dan (6). Liang Senggama (Vagina). Didalam vagina (tepatnya dimulut vagina) terdapat adanya (7). Selaput dara (Hymen). Alat reproduksi bagian dalam terdiri atas: (8). Sepasang Indung Telur (Ovarium), (9). Sepasang Saluran Reproduksi (Tuba Fallopi), serta (10). Rahim (Uterus). Di dalam Ovarium terdapat gelembung folikel penghasil sel telur (ovum). Setiap bulan, salah satu (kadang lebih) ovum akan masak dan diovulasikan keluar menuju ke Tuba Fallopi. Buah dada juga disebut alat reproduksi, karena disiapkan untuk menyusui bayi hasil kelahiran. Keseluruhan alat reproduksi, termasuk buah dada, dan daerah-raerah sekitarnya sangat sensitif dan mudah dirangsang. Kadang disebut daerah erotik.

Apakah Infeksi Menular Seksual (IMS)

Berbagai jenis Infeksi menular seksual (IMS) serta HIV/ AIDS sangat berpengaruh pada tingkat kesehtan seseorang pada umumnya dan kondisi kesehatan reproduksi pada khususnya karena pada umunya berbagai penyakit IMS dan HIV/AIDS berkaitan langsung dengan system reproduksi manusia.

Infeksi Menular Seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. IMS akan lebih beresiko bila melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal.

IMS perlu mendapat perhatian, karena IMS dapat menyebabkan infeksi alat reproduksi yang harus dianggap serius. Bila tidak diobati secara tepat, infeksi dapat menjalar dan menyebabkan penderitaan, sakit berkepanjangan, kemandulan dan kematian. Untuk remaja perempuan, perlu disadari bahwa resiko untuk terkena IMS lebih besar daripada laki-laki sebab alat reproduksinya lebih rentan. Dan seringkali berakibat lebih para karena gejala awal tidak segera dikenali, sedangkan penyakit melanjut ke tahap lebih parah.

Apakah Jenis-jenis Infeksi Menular Seksual (IMS) yang umum terjadi di Indonesia?

1. GO (GONOROE) ATAU KENCING NANAH
Penyebab: kuman gonokokus.
Masa tunas: 1-5 hari.
Tanda/gejala: - Mulai rasa gatal pada penis,
- keluar nanah, akhirnya penis bisa hancur.
Pada wanita sering tanpa gejala. Bila gawat, radang kelenjar di Labia Mayor.
Bayi lahir bisa buta bila ketularan.
Pengobatan: penisilin dan antibiotika lain, bisa sembuh dengan sempurna.

2. SIFILIS (RAJA SINGA)
Penyebab: Treponema pallidum
Masa tunas: 2-4 minggu
Tanda/gejala: tahap-1 : luka di kemaluan, hilang dalam beberapa hari
tahap-2 : demam, sakit kelenjar
tahap-3 : (beberapa tahun) benjolan di kulit, pelunakan tulang, kerusakan syaraf dan otot (jalan seperti ayam jantan).
Pengobatan: penisilin dan antibiotika lain; pengobatan dini berhasil baik, bila
terlambat, tak bisa sembuh.

3. AIDS : dibahas dalam Modul yg terpisah.

4. Infeksi Menular Seksual (IMS) Lain (umumnya tidak terlalu berbahaya).
* Ulkus Molle: disebabkan kuman hemofilus, banyak benjolan merah dan sakit di sekitar kemaluan.
* Limfogranuloma Venereum: disebabkan virus, berupa benjolan kecil di sekitar kemaluan, mudah pecah, mudah menyebar ke mana-mana.
* Herpes Genitalis: disebabkan Virus Herpes, berupa gelembung berair di sekitar kemaluan, mudah ditulari penyakit lain yang bisa menjadi berbahaya.
* Kondiloma Akuminata : disebabkan virus, menimbulkan banyak kutil di sekitar kemaluan.
* Kandidiasis genetalis : disebabkan oleh jamur Candida albicans pada alat
kelamin
* Trikomoniasis : disebabkan oleh parasit Trichomonas vaginalis dan menyerang saluran kemih


Kebijakan PMI bidang HIV/AIDS
Pada saat Musyawarah Nasional XVIII PMI yang dilaksanakan Akhir tahun 2004 telah menyusun Pokok-pokok Kebijakan dan Rencana Strategis PMI 2004 – 2009, yang merupakan pengejawantahan kebijakan konseptual atas kesamaan persepsi, gerak dan langkah PMI untuk perubahan dan kemajuan positif dimasa mendatang. Dengan hasil antara lain, Bidang Pelayanan Kesehatan dan Sosial dengan ruang lingkup kebijakan Bidang Penanganan HIV/ AIDS.

a. Melakukan advokasi program PMI di bidang HIV/AIDS dan Napza untuk internal PMI dan juga untuk eksternal PMI
b. Mendukung kampanye nasional dan internasional terhadap anti stigma dan diskriminasi
c. Mempromosikan tiga (3) pilar pendekatan (pencegahan, anti stigma dan diskriminasi, perawatan dan dukungan) dalam program HIV/ AIDS PMI

Tiga Pilar dan GIPA principle penanggulangan bidang HIV/ AIDS

Sesuai dengan kebijakan di lingkungan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, maka kegiatan-kegiatan di seputar penanggulangan HIV/AIDS mengacu pada tiga pilar, meliputi :
1. Pencegahan (Prevention)
2. Perawatan dan Dukunga (Care and Support)
3. Anti stigma dan diskriminasi (Non stigma and discrimination)

Dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan ketiga pilar tersebut kita mengenal istilah GIPA Principle (Greter Involvement of People with AIDS), adalah suatu prinsip/ asas yang menganjurkan keterlibatan ODHA secara lebih besar. GIPA di deklarasikan dalam KTT tentang AIDS di Paris 1994 dimana Indonesia termasuk Negara yang menanda tangani deklarasi tersebut.

Kegiatan di bidang HIV/AIDS

1.Preventif (Pencegahan)
Meliputi kegiatan:
a. Advokasi terhadap Penguru dan staf PMI, Pemda, Sekolah dan Tokoh masyarakat
b. Sosialisasi/ promosi (KIE), dilingkungan sekolah/ kampus, pusat keramaian, High
risk Group, Radio dan media cetak
c.Jejaring, Koordinasi (stakeholder, NGO’s), Kerjasama (Pemko, NGO’s, Lembaga Donor)
d. Community Intervention
e. Behavioral Change Comunication
f. Pendidikan Sebaya

2.Perawatan dan dukungan (Care and Support)
Meliputi kegiatan:
- Information Center
- Hotline HIV/AIDS
- Home Base Care
- Counseling Pre dan Post Donor
- Rujukan Odha ke rumah sakit
- Support Odha di RS
- Penyediaan Darah dan produk darah Aman HIV (Screening)

3.Anti Stigma dan diskriminasi terhadap Odha
Meliputi kegiatan:
a. Menyelenggarakan lomba-lomba yang melibatkan Odha sebagai OC dan masyarakat umum
sebagai sasaran
b. Memberdayakan Odha sebagai relawan PMI
c.Menghadirkan Odha dan Ohida pada acara dukungan terhadap Odha dan Penyuluhan-
penyuluhan HIV/AIDS
d. Pemasangan Banner seruan-seruan PMI Peduli HIV dan anti stigma & diskriminasi
terhadap Odha (Banner, kartu pos, kartu ucapan)
e. Malam renungan Aids
f. Aids Walk PMI Peduli Aids
g. Conser music Peduli Odha